Senin, 20 Februari 2017

GARA-GARA DISCOUNT
(Kisah true story, hijrah yang tak di sengaja)
Oleh : Pipit Era Martina

Berawal dari keisengan yang bermula karena kekesalan, Allah menunjukkan jalan untuk saya melangkah sedikit lebih baik. Ya, saya memutuskan untuk mengenakan pakaian serta jilbab yang lebar. Bukan karena keinginan, melainkan bermula dari kekesalan. Kekesalan apa? Kekesalan karena sering kali mendapat nasihat yang hampir selalu senada dari seorang akhwat mengenai jilbab yang saya kenakan. Jilbab yang modis penuh dengan accesories, penuh dengan gaya dan jarum tentunya. Entah angin apa yang membuat dia tak pernah lelah memberi sedikit demi sedikit penjelasan tentang jilbab yang sebenarnya. “Yuk Ukhty, pelan-pelan pakai jilbabnya jangan di lilit-lilit yah” nasehatnya melalui inbox facebook. “Na’am ukhty, InsyaAllah” jawabku dengan sedikit bergumam dalam hati, “Itu kan cantik, kenapa musti di rubah. Itu kan modis, ah dia nggak tahu mode kali yah”.

Tepatnya bulan Ramadhan tahun 2014, mendekati kesibukan menjelang hari raya Allah beri celah menuju hijrah melalui discount hijab syar’i yang terpampang di beranda facebook. Entah kebetulan atau mungkin sudah takdir Tuhan, akun tersebut berada di paling atas beranda. Sedikit menaruh ketertarikan dengan discount yang di tawarkan, akhirnya saya order jilbab dengan ukuran super, 150 x 150. Tak mudah bagi saya merubah model hijab dari lilitan menjadi lipatan, melebarkan hijab yang sebelumnya nyaris membentuk lekuk tubuh serta merubah gaya berpakaian menjadi ala-ala wanita muslimah yang senantiasa memakai gamis dan meninggalkan pemakaian celana.

Santunan anak yatim yang di adakan pada penghjung bulan Ramadhan tak pernah di sangka akan menghadirkan sebuah kenyamanan dalam diri. Dengan bersusah payah mengenakan jilbab yang kata orang lebih mirip ‘Alas meja’ itu, ternyata berbuah manis. Banyak di antara sahabat yang bilang “Kamu terlihat indah dengannya”. Jilbab hitam polos dengan ukuran 150 x 150 itu terpasang sedikit berantakan namun mengesankan bagi yang melihatnya dan tanpa mereka tahu, bahwa itu begitu menentramkan dan terasa begitu nyaman di kenakan.

Orang tua yang merasa heran, serta adik yang justru bergurau dengan jilbab yang kemudian ia kenakan sebagai selimut, tidak sama sekali menyinggung perihal perubahan yang nyaris 180. Hanya saja pandangan terkejut yang nyata terlihat di masing-masing wajah mereka. Keanggunan yang tiba-tiba terpancar dari sudut jilbab syar’i yang saya kenakan membuat hati semakin yakin untuk merubah penampilan menjadi lebih tertutup.

Ternyata kenyamanan dan ketentraman yang saya rasakan tidak berlangsung dengan baik, begitu banyak hal yang harus di telan ketika memutuskan untuk mengenakan ‘Hijab syar’i’. “Akhlakmu saja belum baik, kenapa sudah berani pakai hijab syar’i?”, sedih sudah pasti dan rasa ingin kembali seperti dulupun muncul. Tapi ternyata Allah tidak mengizinkan hal itu terjadi, seorang teman yang lainnya datang dan mengatakan bahwa akhlak dan hijab adalah dua hal yang berbeda, jangan dengarkan mereka dan tetap pada niat utama. Merubah insan menjadi wanita yang selangkah lebih baik.

“Kamu masih gadis loh, klo pake jilbab jangan kegedean”, ada apa dengan gadis dan hijab syar’i? Menurut sebagian teman, dengan saya merubah penampilan menjadi syar’i akan berpengaruh dengan pandangan dan rasa enggan mereka untuk mendekati, terutama kaum lelaki. Menurutnya, wanita dengan penampilan yang sedikit syar’i akan membuat saya kesulitan dalam mendapatkan jodoh. Entah apa yang menjadi landasan mereka berpikiran seperti itu, padahal kala itu, salah satu alasan saya  untuk berhijab syar’i adalah untuk mendapatkan lelaki yang lebih baik, yang bisa membimbing saya dalam kebaikan serta mengantarkan saya kepada surga-Nya.Ya, nampak jelas sekali tergambar di raut wajah mereka, sedikit menaruh kecewa dengan perubahan yang tiba-tiba dan dengan alasan tak jelas. Seolah mereka mengatakan bahwa mereka tidak rela kalau saya yang bermodis dengan jilbab tak pernah simple itu berubah menjadi wanita dengan hijab monoton dengan gaya itu, itu, dan itu lagi.

Entah berapa kali bathin ini menangis karena ucapan yang begitu menyakitkan, namun Allah tak pernah membiarkan saya terlunta-lunta dalam genangan air mata. Setiap kali ada ucapan yang menyakitkan, saat itu pula datang ucapan yang menentramkan. Inilah sebabnya saya bertahan dengan hijab yang saya kenakan sampai saat ini.

Tidak mudah merubah statement orang terhadap apa yang kita lakukan, karena tak semua orang mau mendengarkan penjelasan dan alasan yang akan kita utarakan. Sebagian orang hanya menilai dari apa yang mereka lihat tanpa ingin tahu alasan di balik itu semua. Pernah sekali saya mengenakn hijab warna hitam, dan saat itu ada orang yang berucap bahwa saya sudah termakan oleh omongan teman yang menganut aliran ISIS. Sedih, tapi mau bagaimana lagi? Membantahpun serasa tak memiliki penjelasan yang cukup kuat untuk menentangnya, karena alasan saya mengenakan hijabpun sedikit tidak masuk akal. Pada saat itu hanya Allah dan wanita-wanita hebat yang bisa memahami apa yang saya alami.

Salah satu hal yang membuat saya kian menancapkan keikhasan dalam berhijab, yakni dunia luar. Mata liar yang ada di luar sana begitu mengerikan, kejahatan terhadap wanita bukan lagi hal yang baru. Sebelum saya mengenakan hijab syar’i, saya mengenakan pakaian yang membentuk lekuk tubuh, menyapu wajah dengan riasan yang mencolok dan dengan balutan jilbab modis dengan trend masa kini, sungguh menjamu mata para lelaki. Apa yang saya rasakan pada saat itu? Rasa bahagia karena merasa cantik ketika berjalan sudah pasti, tapi ada sedikit rasa kekhawatiran yang menyelimuti ketika berada dalam perjalanan. Ketika melewati sekerumpulan lelaki, entah kenapa hati ini merasa ada ancaman bahaya dan merasa kesal jika beberapa dari mereka mulai menggoda, meski sudah jelas, mereka seperti itu bermula dari pesona yang dibuat oleh wanita itu sendiri.

Semua berubah ketika saya menanggalkan pakaian sexy, rasa cemas yang selama itu menemani berubah menjadi rasa nyaman. Jika dulu berjalan di antara para lelaki merasa cemas, namun kini saya bisa tersenyum tenang ketika melewati mereka. Sungguh begitu besar pengaruh hijab dalam kehidupan saya. Kini, mereka terlhat menaruh rasa sungkan untuk sekedar menyapa, sedang dulu tiada rasa sopan sama sekali untuk menggoda atau bahkan menuliskan niat jahat dalam benak mereka. Saya bahagia ketika dalam perjalanan, mereka menundukkan kepala dengan ramah serta memanggil saya dengan sebutan ‘Ibu’. Sebagian wanita muda mungkin merasa tersinggung bahkan kesal ketika di panggil ‘Ibu’, tapi tidak bagi saya. Justru menjadi satu tongkat keamanan bagi saya, dimana mereka menaruh setidaknya sedikit rasa sopan dan enggan untuk sekedar menyapa. Alhamdulillah, sebutir pengalaman yang saya alami sejak mengenkan hijab syar’i sungguh luar biasa. Meski saya akui, sampai saat ini ilmu perihal Islam yang saya miliki belumlah sesuai dengan pakaian yang saya kenakan. Hijab adalah kewajiban, dan sekarang ini saya sedang berusaha untuk meluruskan niat berhijab dengan benar serta memperbaiki akhlak yang masih jauh dari kata baik.

Tak perlu takut akan kehilangan teman hanya karena diri merubah versi jilbab menjadi hijab, gaya lilit menjadi lipat dan trendi menjadi syar’i, karena Allah selalu ada dan teman yang seirama dengan kita itu lebih banyak dari apa yang kita tahu. Berhijab tak perlu menunggu hidayah datang, karena hakikatnya kita yang menjemput hidayah, bukan hidayah yang menghampiri. Jangan menunggu tua untuk berhijab, karena usia tiada yang tahu. Tak perlu menunggu menikah untuk menutup aurat, karena belum tentu jodoh mendahului maut. Dan jangan pula menunda hijab dengan dalih belum siap, karena mati tak pernah menunggu kita siap.

Sekian cuplikan kisah yang mengiringi perjalan hijrah saya, semoga bisa menginspirasi. Niat baik tak selalu diiringi dengan senyuman, terkadang tangisan justru menjadi jembatan menuju tawa bahagia.

Bandar Lampung, Selasa, 25 Oktober 2016