Mendamba
Shalehah (Perjalanan menuju hijab syar’i)
Oleh :Pipit Era Martina
Bukan jalan yang mudah untuk
mencapai perubahan hingga ke titik yang paling tinggi. Merubah pribadi jauh
dari diri sendiri. Merubah apa yang telah di genggam selama ini. Proses yang
lalui beribu rintangan dan cercaan.
Gadis desa dengan latar
belakang yang jauh dari kata sempurna, begitu lugu dan sangat sederhana. yang
hidup di pelataran desa pedalaman dan tak pernah menyangka bahwa kehidupan yang
akan ia temui seindah hari ini. senyuman yang dulu selalu ia dambakan, kini
sukses temani hari-harinya.
Yah, itu aku. Si gadis desa
dengan sejuta kenakalan, yang sebagian orang pandang tak memiliki masa depan.
Bagaimana tidak? Sejak berusia 9 tahun, hidupku di tanggung nenek dan kakek.
Pada masa itu, orang tua yang bekerja sebagai petani kopi dan lada tengah
berusaha membangkitkan usaha yang sempat terpuruk akibat sebuah kelalaian. Dari
situlah, kebebasan serasa ada dalam genggaman, amarah dari sang nenek tak
pernah ku perdulikan, bahkan tak jarang ucapannya pun ku tentang. Yah itulah
aku, si gadis nakal yang tak pernah mau menuruti perintah, karena bagiku
perintahnya adalah kemauanku.
Bukan di kota, melainkan di
desa. Desa yang penuh dengan lahan pertanian dan masih di selimuti dengan
pegunungan. Bisa di bayangkan, aku seorang anak wanita yang bisa dikatakan
‘anak mama’ seketika berubah menjadi anak yang begitu ‘pecicilan’. Nakal dalam
hal anak-anak, menyebrangi sungai besar tanpa pengaman, mendaki gunung, hingga
menyusuri perkebunan hingga ke ujung yang entah. Dan pada masa itu seorang aku
lekat dengan penampilan yang 80% menyerupai laki-laki, dan kesemuanya itu tanpa
sepengetahuan orang tua, sedangkan nenek dan kakek hanya bisa diam tanpa marah,
bukan karena mereka setuju, melainkan karena mereka lelah bicara.
Geleng-geleng,
sanak saudara yang tak habis pikir dengan tingkah laku yang 180° berbeda
dengan sifat mama yang terkesan feminim dan manis. Namun begitu, meski
penampilan yang tak sewajarnya dan acap kali menentang perkataan orang yang
lebih dewasa, aku bukanlah anak yang tak ‘peka’. Sering kali mereka berbisik,
“Mau jadi apa anak itu nanti?”. Sedih? Tentu, anak mana yang tak luka, ketika
perkataan tajam menohok bathinnya. Penampilan yang tomboy bukan berarti diri
ini kuat dan tak menghiraukan ucapan, justru lebih lemah dari yang terlihat dan
lebih rapuh dari yang orang sangka.
Tak pernah terfikir untuk
merubah diri menjadi wanita sejati, yang lekat dengan busana anggun nan
mempesona, bermuka manis dan feminim. Meski sering kali di libatkan dalam
kegiatan yang melibatkan wanita-wanita anggun, namun tak sedikitpun memberi
pengaruh atapun mencetuskan pemikiran untuk merubah diri dan mengikuti gaya
mereka. hanya seketika, merubah diri menjadi anggun lengkap dengan busana
syar’i dan jilbab yang menjuntai, hanya demi sebuah penampilan. Selebihnya, di
tanggalkan begitu saja.
Tak kunjung berubah,
masa-masa menginjak remaja justru kian menggila. Lebih suka berkelahi dan
melanggar peraturan sekolah. Mengikuti kegiatan sekolah tanpa kenal lelah,
berpenampilan ala-ala preman yang sulit dibayangkan untuk saat ini. menjadi
murid kesayangan karena kenakalannya, menjadi siswi terkenal karena
kehebohannya membuat ulah dan menjadi sahabat tiang bendera, karena sering kali
berjemur di sampingnya. Mentaati peraturan begitu mengesalkan pada masa itu,
pakaian yang rapi sengaja di rombak tak sopan, lengan di pendekkan dan rok di
kecilkan, entah apa yang kala itu terpikirkan.
Hingga tiba masa dimana
kelulusan Sekolah Menengah Pertama kian mendekat, dan orang tua tak tahu harus
menyekolahkan aku kemana, dengan keterbatasan biaya dan dengan beribu cercaan
keluarga. Ada mereka yang selalu berkata ‘tak mungkin’. Tak mungkin
seorang anak yang terlahir dari keluarga miskin bisa melanjutkan pendidikan.
Namun Allah berkehendak
lain, Allah hidangkan dua pilihan yang nyata di depan mata, antara melanjutkan
pendidikan negeri di SMA atau melanjutkan sekolah sederajat, yakni jurusan
keperawatan. Waw, keperawatan itu mahal, mau dapat uang darimana? Memang orang
tua kamu punya uang? Disana itu illegal? Bahaya kalau anak perempuan di kota
sendirian. Memang kamu bisa jaga diri sendiri? Berjuta kata lewat di telinga
tanpa permisi. Berjuta luka pun kian tertancap nyeri di hati ini, hanya air
mata kesedihan yang temani sepi, ketika sepertiga malam menyapa keheningan.
Saat itulah, naluri keislaman muncul tanpa di pinta, menangis sesenggukan di
atas sajadah yang ku bentang di tengah malam. Memuaskan hati, mencurahkan
kekesalan pada diri sendiri dan nasib yang dirasa tak pernah berpihak. Dalam
benak sungguh bergejolak, memantapkan hati melanjutkan study keperawatan, tapi
di sisi lain? Apakah iya orang tua ku mampu? Apakah mungkin aku bisa? Seperti
mustahil dan sulit untuk di capai. Hingga di ujung keheningan dengan berat hati
aku berkata pada Tuhan, “Aku mau SMA”.
Namun lagi-lagi takdir Allah
berkata lain, dengan kemantapan dan kesungguhan, “Lanjutkan! papa yang
membiayai pendidikanmu, bukan mereka. Dan yang membangkitkanmu itu diri sendiri
bukan ucapan mereka”, ucap papa dengan tegasnya yang berhasil menembus
pertahanan air mata yang sedari semalam tak henti mengalir.
Dengan langkah kaki yang
mantap dan hati yang terus berusaha kuat, berjalan menuju kota pendidikan.
Melupakan acara perpisahan sekolah dan mengabaikan ucapan-ucapan sadis para
mereka. ini aku dan kemampuan orang tuaku, aku berjalan dengan kaki sendiri,
melangkah dengan hati yang pasti. Bukan karena kalian aku melangkah, bukan
karena dendam aku berdiam, melainkan tengah menata hati, memfokskan tuju,
meraih senyum orang tua yang hakiki.
Tak semudah seperti apa yang
ada dalam angan, tak seindah seperti yang sudah terbayangkan. Dunia kota jauh
berbeda dan dunia asrama sungguh tak menyenangkan. Bagaimana tidak, kesemuanya
tentang wanita dan feminim jadi ciri khas mereka, sungguh tak lagi kutemukan
teman sepermainan preman. Tak lagi ku temukan gunung untuk di daki dan tak lagi
kulihat sungai untuk di sebrangi. Semua tentang wanita dan kebersamaan feminim.
Namun disinilah titik awal
mula aku berjumpa dengan dunia wanita, wanita yang penuh dengan gaya, cerita
dan juga sejuta cinta. Perlahan merubah diri menjadi sosok wanita sejati,
mengikuti fashion ala wanita dewasa, bergaya ala Cinderella dan melangkah bak primadona.
Semua terjadi begitu saja, dan seiring jalannya waktu, hati ini mulai menyukai
kain penutup kepala. Meski ragu, tapi aku mau. Mencoba mengenakan penutup
kepala dengan gaya rotasi. Benar! Gaya memutar setiap ujung kain dan
memainkannya sedemikian rupa hingga membentuk sesuai selera.
Ketika itu, islam yang
kutahu hanyalah symbol keagamaan. Bukan sebagai pacuan apalagi pedoman,
Al-Qur’an hanyalah sebuah mushaf kecil yang dibaca ketika waktu-waktu tertentu.
Mulus, dan bersih karena hampir tak pernah ku sentuh, kecuali membaca surah
yaasiin.
Penutup kepalapun hanya
kupakai ketika kuliah dan pada satu waktu kembali menjadi wanita yang banyak
gaya. Meski di kota dan di kelilingi teman wanita, ternyata tidak banyak
merubah sikap kejahilan serta kenakalan yang telah tertanam sejak kecil. Namun
anehnya, di dunia keperawatan jiwa ini serasa menyatu, tak pernah sekalipun aku
melalaikan tugas, terus dan terus mencari tahu dan bahkan ingin segera
melanjutkan ke jenjang jalur pendidikan kesehatan yang lebih tinggi lagi.
Satu tahun, masa pendidikan
yang singkat telah usai ku tempuh di dalam ruang lingkup dunia keperawatan.
Pribadi yang belum juga menunjukkan perubahan yang berarti, justru tertanam
sifat yang Allah benci mulai muncul. Sifat tamak dan meninggikan diri
sendiri mulai bersarang dan mengotori hati yang baru saja hendak mendaki cinta
Illahi. Merasa bahwa diri ini mampu beranjak dari keterpurukan anak desa,
merasa bahwa jaya dengan sekolah di kota dengan mengenakan seragam putih-putih.
Tak pernah terlintas ataupun
terpikirkan bahwa di luar sana masih banyak orang yang lebih jaya dan lebih
berarti dari diri ini. Yang kutahu pada saat itu hanyalah bagaimana cara
membanggakan seragam yang kini lekat di badan, meski kesuksesan belumlah di
mulai. Berselancar di dunia maya mulai ku gandrungi dan merasa kecanduan
disana, temui teman baru tanpa pandang bulu dan jadikan tempat curahkan
keisengan.
Di titik ini, belum jua ada
keinginan yang mendewasakan, masih berpikir bahwa aku bisa tanpa Islam, dan
Islam hanyalah symbol keagamaan yang tak begitu penting untuk di pahami dan di
telaah lebih dalam lagi. Akan tetapi, penutup kepala ini sudah mulai nyaman
untuk di kenakan. Sedikit ucap dalam hati bahwa aku ingin memakainya selalu.
Dunia kenakalan yang kekanak-kanakkan perlahan sirna seiring diri ini terjun di
dunia keperawatan di sebuah klinik di kota kecil.
Masih dengan kebosanan
mendengar khutbah, masih enggan menyenandungkan Al-Qur’an dan masih tak kunjung
terketuk hati ini dengan keindahan Islam yang banyak orang bicarakan. Bagiku
Islam itu fleksible, tak perlu meruntut memenuhi segala kewajibannya, hanya
perlu berbuat baik terhadap sesama dan berpakaian sopan. Cukup tanpa banyaknya
deretan penjabaran perintah dan larangan.
Agamaku Islam sejak lahir,
dengan hanya berbekal ucap lisan sang ibunda yang pada dasarnya minim soal
Islam, aku melangkah sejauh ini masih tanpa tatap cinta-Nya, masih dengan
kebutaan hati yang tertutupi oleh kepuasan diri. Meski dalam hati menyadari
satu hal, ‘Aku manusia’ yang hanya akan kembali pada-Nya.
Lalu akankah hati ini luluh
dan mencinta Islam sebagai penyempurna Iman? Tentu. Mencinta Islam secara
sempurna, mendamba surga dan merindu husnul khatimah. Terus berusaha istiqamah,
terus berlari mengejar Islam yang selama ini terabaikan dan kian menjaga
kekokohan Iman yang mulai tumbuh dalam keheningan qalbu.
***
Lampung, 09 Juni 2016