Minggu, 12 Juni 2016

Di Sini, Aku Memantaskan Diri
Oleh : Pipit Era Martina

Dari hati yang kini masih sendiri, jiwa yang saat ini masih terkunci dan cinta yang hingga kini belum jua bermuara.  Izinkan aku bercerita tentang diri yang masih mengunci hati dan enggan membuka kesempatan. Bukan karena tak ingin merasakan cinta yang mereka ceritakan. Bukan pula karena buta akan sebuah rasa. Hanya saja, aku ingin sepenuhnya menjaga. Karena citaku, memberikan cinta yang utuh hanya untukmu. Kamu, yang kini tengah berjuang melintasi jalan penghubung. Melalui aral melintang yang kian membentang. Memperjuangkan iman agar kelak mampu menjadi imam.

Di sini aku bertahan sendiri. Membenahi hati, memantaskan diri, menguatkan jiwa. Mengukuhkan 
raga, memperdalam agama dan yang pasti berjuang menuju gelar shaleha. Aku bukan siapa-siapa yang pantas untuk dibanggakan. Pun, bukan wanita yang lahir dari rahim ketaatan. Hanya seorang wanita yang buta akan indahnya agama, tuli akan syahdu gema cinta-Nya. Buntu akan sempurna alam kasih-Nya dan bisu untuk melukiskan cinta-Nya dalam sebuah kata.

Akan tetapi, wahai kamu yang namanya telah terukir indah di selembar takdirku. Percayalah, bahwa aku terus berusaha memperbaiki segalanya. Membenahi agama yang sementara ini belum jua kupahami sepenuhnya. Mencoba memantaskan diri bersanding denganmu, yang kuyakini penuh dengan balutan ilmu, kaya akan cinta-Nya jua taat dengan perintah-Nya.

Berdo’alah untukku selalu, agar hati ini tetap terkunci. Hingga tiba waktunya kamu datang menghampiri. Agar jiwa ini tetap bertahan dalam belenggu sepi sampai pada masanya kamu hadir menghiasi. Agar cinta ini terus terjaga hingga tiba cintamu hadir dengan untaian kata di depan orang tua. Tetaplah bertahan dalam penantian, tunggu hingga aku pantas bersanding denganmu dalam satu pelaminan.

Pun, aku di sini terus berdo’a agar cinta yang selama ini terjaga akan berlabuh pada muara yang tepat. Pada ikatan suci yang diakui dan jatuh pada hati yang suci. Agar hati yang selama ini dijaga, mampu menuntun kita menuju pernikahan yang sakinah penuh berkah dalam naungan ridha-Nya. Jangan pernah lelah dalam berdo’a, karena tanpa-Nya tiadalah mungkin cinta ini menyatu. Usah risau, aku di sini terus berjuang memantaskan diri dan tetap bertahan dalam penantian. Semoga Allah indahkan cita yang selama ini kulambungkan lalui do’a.

Lampung, 12 Juni 2016 

Kamis, 09 Juni 2016

Mendamba Shalehah (Perjalanan menuju hijab syar’i)
Oleh :Pipit Era Martina



Bukan jalan yang mudah untuk mencapai perubahan hingga ke titik yang paling tinggi. Merubah pribadi jauh dari diri sendiri. Merubah apa yang telah di genggam selama ini. Proses yang lalui beribu rintangan dan cercaan.

Gadis desa dengan latar belakang yang jauh dari kata sempurna, begitu lugu dan sangat sederhana. yang hidup di pelataran desa pedalaman dan tak pernah menyangka bahwa kehidupan yang akan ia temui seindah hari ini. senyuman yang dulu selalu ia dambakan, kini sukses temani hari-harinya.
Yah, itu aku. Si gadis desa dengan sejuta kenakalan, yang sebagian orang pandang tak memiliki masa depan. Bagaimana tidak? Sejak berusia 9 tahun, hidupku di tanggung nenek dan kakek. Pada masa itu, orang tua yang bekerja sebagai petani kopi dan lada tengah berusaha membangkitkan usaha yang sempat terpuruk akibat sebuah kelalaian. Dari situlah, kebebasan serasa ada dalam genggaman, amarah dari sang nenek tak pernah ku perdulikan, bahkan tak jarang ucapannya pun ku tentang. Yah itulah aku, si gadis nakal yang tak pernah mau menuruti perintah, karena bagiku perintahnya adalah kemauanku.

Bukan di kota, melainkan di desa. Desa yang penuh dengan lahan pertanian dan masih di selimuti dengan pegunungan. Bisa di bayangkan, aku seorang anak wanita yang bisa dikatakan ‘anak mama’ seketika berubah menjadi anak yang begitu ‘pecicilan’. Nakal dalam hal anak-anak, menyebrangi sungai besar tanpa pengaman, mendaki gunung, hingga menyusuri perkebunan hingga ke ujung yang entah. Dan pada masa itu seorang aku lekat dengan penampilan yang 80% menyerupai laki-laki, dan kesemuanya itu tanpa sepengetahuan orang tua, sedangkan nenek dan kakek hanya bisa diam tanpa marah, bukan karena mereka setuju, melainkan karena mereka lelah bicara.

Geleng-geleng, sanak saudara yang tak habis pikir dengan tingkah laku yang 180° berbeda dengan sifat mama yang terkesan feminim dan manis. Namun begitu, meski penampilan yang tak sewajarnya dan acap kali menentang perkataan orang yang lebih dewasa, aku bukanlah anak yang tak ‘peka’. Sering kali mereka berbisik, “Mau jadi apa anak itu nanti?”. Sedih? Tentu, anak mana yang tak luka, ketika perkataan tajam menohok bathinnya. Penampilan yang tomboy bukan berarti diri ini kuat dan tak menghiraukan ucapan, justru lebih lemah dari yang terlihat dan lebih rapuh dari yang orang sangka.

Tak pernah terfikir untuk merubah diri menjadi wanita sejati, yang lekat dengan busana anggun nan mempesona, bermuka manis dan feminim. Meski sering kali di libatkan dalam kegiatan yang melibatkan wanita-wanita anggun, namun tak sedikitpun memberi pengaruh atapun mencetuskan pemikiran untuk merubah diri dan mengikuti gaya mereka. hanya seketika, merubah diri menjadi anggun  lengkap dengan busana syar’i dan jilbab yang menjuntai, hanya demi sebuah penampilan. Selebihnya, di tanggalkan begitu saja.

Tak kunjung berubah, masa-masa menginjak remaja justru kian menggila. Lebih suka berkelahi dan melanggar peraturan sekolah. Mengikuti kegiatan sekolah tanpa kenal lelah, berpenampilan ala-ala preman yang sulit dibayangkan untuk saat ini. menjadi murid kesayangan karena kenakalannya, menjadi siswi terkenal karena kehebohannya membuat ulah dan menjadi sahabat tiang bendera, karena sering kali berjemur di sampingnya. Mentaati peraturan begitu mengesalkan pada masa itu, pakaian yang rapi sengaja di rombak tak sopan, lengan di pendekkan dan rok di kecilkan, entah apa yang kala itu terpikirkan.

Hingga tiba masa dimana kelulusan Sekolah Menengah Pertama kian mendekat, dan orang tua tak tahu harus menyekolahkan aku kemana, dengan keterbatasan biaya dan dengan beribu cercaan keluarga. Ada  mereka yang selalu berkata ‘tak mungkin’. Tak mungkin seorang anak yang terlahir dari keluarga miskin bisa melanjutkan pendidikan.

Namun Allah berkehendak lain, Allah hidangkan dua pilihan yang nyata di depan mata, antara melanjutkan pendidikan negeri di SMA atau melanjutkan sekolah sederajat, yakni jurusan keperawatan. Waw, keperawatan itu mahal, mau dapat uang darimana? Memang orang tua kamu punya uang? Disana itu illegal? Bahaya kalau anak perempuan di kota sendirian. Memang kamu bisa jaga diri sendiri? Berjuta kata lewat di telinga tanpa permisi. Berjuta luka pun kian tertancap nyeri di hati ini, hanya air mata kesedihan yang temani sepi, ketika sepertiga malam menyapa keheningan.

Saat itulah, naluri keislaman muncul tanpa di pinta, menangis sesenggukan di atas sajadah yang ku bentang di tengah malam. Memuaskan hati, mencurahkan kekesalan pada diri sendiri dan nasib yang dirasa tak pernah berpihak. Dalam benak sungguh bergejolak, memantapkan hati melanjutkan study keperawatan, tapi di sisi lain? Apakah iya orang tua ku mampu? Apakah mungkin aku bisa? Seperti mustahil dan sulit untuk di capai. Hingga di ujung keheningan dengan berat hati aku berkata pada Tuhan, “Aku mau SMA”.

Namun lagi-lagi takdir Allah berkata lain, dengan kemantapan dan kesungguhan, “Lanjutkan! papa yang membiayai pendidikanmu, bukan mereka. Dan yang membangkitkanmu itu diri sendiri bukan ucapan mereka”, ucap papa dengan tegasnya yang berhasil menembus pertahanan air mata yang sedari semalam tak henti mengalir.
Dengan langkah kaki yang mantap dan hati yang terus berusaha kuat, berjalan menuju kota pendidikan. Melupakan acara perpisahan sekolah dan mengabaikan ucapan-ucapan sadis para mereka. ini aku dan kemampuan orang tuaku, aku berjalan dengan kaki sendiri, melangkah dengan hati yang pasti. Bukan karena kalian aku melangkah, bukan karena dendam aku berdiam, melainkan tengah menata hati, memfokskan tuju, meraih senyum orang tua yang hakiki.

Tak semudah seperti apa yang ada dalam angan, tak seindah seperti yang sudah terbayangkan. Dunia kota jauh berbeda dan dunia asrama sungguh tak menyenangkan. Bagaimana tidak, kesemuanya tentang wanita dan feminim jadi ciri khas mereka, sungguh tak lagi kutemukan teman sepermainan preman. Tak lagi ku temukan gunung untuk di daki dan tak lagi kulihat sungai untuk di sebrangi. Semua tentang wanita dan kebersamaan feminim.

Namun disinilah titik awal mula aku berjumpa dengan dunia wanita, wanita yang penuh dengan gaya, cerita dan juga sejuta cinta. Perlahan merubah diri menjadi sosok wanita sejati, mengikuti fashion ala wanita dewasa, bergaya ala Cinderella dan melangkah bak primadona. Semua terjadi begitu saja, dan seiring jalannya waktu, hati ini mulai menyukai kain penutup kepala. Meski ragu, tapi aku mau. Mencoba mengenakan penutup kepala dengan gaya rotasi. Benar! Gaya memutar setiap ujung kain dan memainkannya sedemikian rupa hingga membentuk sesuai selera.
Ketika itu, islam yang kutahu hanyalah symbol keagamaan. Bukan sebagai pacuan apalagi pedoman, Al-Qur’an hanyalah sebuah mushaf kecil yang dibaca ketika waktu-waktu tertentu. Mulus, dan bersih karena hampir tak pernah ku sentuh, kecuali membaca surah yaasiin.

Penutup kepalapun hanya kupakai ketika kuliah dan pada satu waktu kembali menjadi wanita yang banyak gaya. Meski di kota dan di kelilingi teman wanita, ternyata tidak banyak merubah sikap kejahilan serta kenakalan yang telah tertanam sejak kecil. Namun anehnya, di dunia keperawatan jiwa ini serasa menyatu, tak pernah sekalipun aku melalaikan tugas, terus dan terus mencari tahu dan bahkan ingin segera melanjutkan ke jenjang jalur pendidikan kesehatan yang lebih tinggi lagi.
Satu tahun, masa pendidikan yang singkat telah usai ku tempuh di dalam ruang lingkup dunia keperawatan. Pribadi yang belum juga menunjukkan perubahan yang berarti, justru tertanam sifat yang Allah benci mulai muncul.  Sifat tamak dan meninggikan diri sendiri mulai bersarang dan mengotori hati yang baru saja hendak mendaki cinta Illahi. Merasa bahwa diri ini mampu beranjak dari keterpurukan anak desa, merasa bahwa jaya dengan sekolah di kota dengan mengenakan seragam putih-putih.

Tak pernah terlintas ataupun terpikirkan bahwa di luar sana masih banyak orang yang lebih jaya dan lebih berarti dari diri ini. Yang kutahu pada saat itu hanyalah bagaimana cara membanggakan seragam yang kini lekat di badan, meski kesuksesan belumlah di mulai. Berselancar di dunia maya mulai ku gandrungi dan merasa kecanduan disana, temui teman baru tanpa pandang bulu dan jadikan tempat curahkan keisengan.

Di titik ini, belum jua ada keinginan yang mendewasakan, masih berpikir bahwa aku bisa tanpa Islam, dan Islam hanyalah symbol keagamaan yang tak begitu penting untuk di pahami dan di telaah lebih dalam lagi. Akan tetapi, penutup kepala ini sudah mulai nyaman untuk di kenakan. Sedikit ucap dalam hati bahwa aku ingin memakainya selalu. Dunia kenakalan yang kekanak-kanakkan perlahan sirna seiring diri ini terjun di dunia keperawatan di sebuah klinik di kota kecil.

Masih dengan kebosanan mendengar khutbah, masih enggan menyenandungkan Al-Qur’an dan masih tak kunjung terketuk hati ini dengan keindahan Islam yang banyak orang bicarakan. Bagiku Islam itu fleksible, tak perlu meruntut memenuhi segala kewajibannya, hanya perlu berbuat baik terhadap sesama dan berpakaian sopan. Cukup tanpa banyaknya deretan penjabaran perintah dan larangan.

Agamaku Islam sejak lahir, dengan hanya berbekal ucap lisan sang ibunda yang pada dasarnya minim soal Islam, aku melangkah sejauh ini masih tanpa tatap cinta-Nya, masih dengan kebutaan hati yang tertutupi oleh kepuasan diri. Meski dalam hati menyadari satu hal, ‘Aku manusia’ yang hanya akan kembali pada-Nya.

Lalu akankah hati ini luluh dan mencinta Islam sebagai penyempurna Iman? Tentu. Mencinta Islam secara sempurna, mendamba surga dan merindu husnul khatimah. Terus berusaha istiqamah, terus berlari mengejar Islam yang selama ini terabaikan dan kian menjaga kekokohan Iman yang mulai tumbuh dalam keheningan qalbu.

***

Lampung, 09 Juni 2016