Rabu, 03 April 2019

Dear Calon Imam


Oleh: Pipit Era Martina

Rintikan derai hujan yang menyejukkan, tak pula memberikan kesejukan dalam jiwa. Ada kelam di dalamnya, ada titik hitam penyesalan yang menggumpal dalam angannya dan ada buliran airmata yang tak kunjung usai berderai. Kataku, hati ini tak ‘kan pernah terbuka hanya untuk engkau belahan jiwa. Namun faktanya, hati terpaut dengan jiwa lain. Jiwa yang tak semestinya bercengkrama disini. Bukan ku ‘tak menjaga, tapi hati tak sekuat baja untuk memerangi rasa dan Iman tak sekuat Nabi Sulaiman, hingga cinta tak kujaga kesuciannya. Kataku, citaku memberi keutuhan cinta hanya untukmu. Namun nyatanya keutuhan cinta tak ku jaga dengan kesungguhan. Keyakinanku akan perjuanganmu memupuk Iman membuatku kian temaram. Layakkah aku berharap kebaikanmu? Sedang hati tak lagi bersayap utuh? Layakkah hati menerima kebersihan hatimu? Sedang hatiku tak lagi seperti dulu.


Membenahi diri, memantaskan diri, memperkuat jiwa tak pernah ku lupa. Berharap hati hanya akan terbuka untukmu. Mengukuhkan raga, memperdalam agama dan berjuang menuju gelar shaleha selalu ku jaga, berharap senyummu ‘kan mengembang mendapatiku. Meski hati sedetik singgah ke lain hati, ku harap denganmu hati ‘kan kembali sempurna lagi.

Aku bukan siapa-siapa yang pantas untuk dibanggakan, pun bukan wanita yang lahir dari rahim ketaatan, tapi percayalah kusanggupi taat menyemai cerita cinta bersamamu. Aku wanita yang buta akan indahnya agama, berharap bersamamu kan ku tatap nyata keindahan agama. Aku tuli akan syahdu gema cinta-NYA, bersamamu ku harap kan mendengar jelas gema-NYA hingga bergetar jiwa. Aku bisu, tak dapat menorehkan cinta-NYA dalam sebuah kata, bersamamu kuharap kataku kan mengalir seindah cintamu dan cinta sang pemilik cinta.

Meski hati tak lagi terkunci, percayalah bahwa aku tak pernah henti perbaiki diri. Tak pernah henti ku belajar memantaskan diri bersanding denganmu, yang kuyakin penuh dengan balutan ilmu jua penuh dengan balutan cinta dan kasih-NYA. Kuharap, do’amu tak henti untukku, agar hati ini tak lagi singgah selain hatimu. Hingga tiba waktunya dirimu datang menjemputku. Agar jiwa ini terus bertahan dalam belenggu hati hingga tiba masanya dirimu hadir menghiasi. Agar cinta ini terus terjaga hingga tiba masanya cintamu datang dengan untaian kata di depan orang tua. Tetaplah bertahan, hingga tiba masanya kita dipersatukan dalam pelaminan.

Pun aku disini tak ‘kan henti berdo’a agar cinta ini selalu terjaga hingga tiba masanya berlabuh dalam dekap ragamu. Agar hati ini tak lagi jatuh pada hati yang lain selain hatimu. Kuharap hatimu tak lelah dalam berdo’a, hingga tiba masanya hati terajut dalam buaian Ridha-NYA. Tinggi harapku agar Allah indahkan cita yang selama ini kulambungkan lalui do’a. Dan tinggi pula harapku agar hati ini kan bersemi indah dalam dekap mesra do’amu. Untukmu, calon Imamku temui aku dalam Tahajudmu dan dekap aku dalam untaian do’a panjangmu. Kuharap angin kan sampaikan pintaku, agar hatimu tak henti melambungkan do’a untukku. Hingga tiba masanya tahajudmu dan tahajudku menjadi tahajud kita.

Sekincau, 03 April 2019

Kamis, 13 September 2018

Untuk Apa Memburu Jodoh Yang Tak Perlu
By: Pipit Era Martina

MEMBURU jodoh yang tak perlu, apa sih yang tak perlu itu? Banyak sekali hal yang kita buru dengan segenap jiwa raga, seolah tak ingin orang lain memilikinya. padahal sebenarnya sesuatu tersebut tidak mendatangkan kebaikan dan tidak pula berdampak pada ibadah kita kepada Allah SWT. 

Salah satu dari hal yang tak perlu kita buru ialah jodoh. Bukan, bukannya Allah melarang ataupun ada larangan khusus untuk tidak memburunya. Bukan pula perkara jodohnya yang perlu di waspadai atau tak perlu diburu, melainkan dari tujuan tertentu yang menjadikannya perlu dan tidak perlu untuk di buru.
Boleh saja kita memburu jodoh dengan kriteria yang tertera dalam buku catatan persyaratan calon mempelai. Misal, mempertimbangkan kekayaan, ketampanan, ataupun kedudukan, tidak masalah kok.

Manusia memiliki hak untuk itu, akan tetapi, usahlah memburu dengan nafsu atau dijadikan menu utama dalam proses pencarian pendamping hidup. Bukankah sudah pernah Allah jelaskan bahwa jodoh kita adalah cerminan dari diri kita, dan rezeki hadir tergantung dari cara kita mencarinya, seberapa jauh usaha dan ikhtiar yang kita lakukan untuk menggapai rezeki darinya yang melimpah dan berkah.
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang mengawini seorang wanita karena kemuliaannya (martabat kedudukannya) Allah tidak menambahnya kecuali kehinaan, dan barangsiapa yang mengawini wanita karena hartanya, maka Allah tidak akan menambah baginya kecuali kefakiran. Dan barangsiapa yang mengawini seorang wanita karena keturunan nasabnya, maka Allah tidak akan menambah baginya kecuali kerendahan. Dan barangsiapa mengawini seorang wanita kecuali untuk menundukkan pandanganya, menjaga kemaluannya atau menyambung silaturahmi maka Allah akan memberkahinya dalam (perkawinan dengan) dirinya.” (HR. Thabrani)

Apakah dengan memiliki istri yang cantik akan berpengaruh pada pendidikan anak-anak kita kelak?
Tidak, bukan rupa yang menjadikan anak pandai, bukan rupa yang menjadikan mereka sholeh dan sholehah, bukan pula rupa yang menjadikan seorang anak sukses di masa depan. Rupa bukanlah jaminan suatu keluarga bahagia dan sejahtera.
Apakah dengan memiliki suami yang kaya akan berpengaruh terhadap kepemimpinan seorang kepala rumah tangga?
Tentu dengan jawaban yang masih sama, tidak. Kekayaan bukanlah jaminan suatu keluarga berjalan bahagia, bukan kekayaan yang menjadikannya dermawan, bukan harta yang menjadikannya bijak dalam menyikapi prahara rumah tangga.


Justru terkadang, harta mampu melenakan akal, memperbudak hati dan mengotori jiwa. harta mampu mengalahkan semuanya, dengan harta manusia bisa gila, dengan harta manusia bisa khilaf, dan dengan harta manusia bisa lupa bahwa dunia bukanlah tujuan satu-satunya. Jadi untuk apa memburu suami yang kaya dengan harta? Untuk menjamin kebahagiaan, kecukupan materi? Yes, memang akan bahagia dengan harta, tapi jiwa? bisakah harta menjamin kebahagiaan jiwa dan ketentraman hati?

Apakah dengan memiliki pasangan yang rupawan, kaya, berkedudukan tinggi akan berpengaruh pada kekhusyukan ibadah dan tingkatan cinta pada Ilahhi Rabbi?
Berpengaruh pada nilai-nilai ibadah yang kita jalani? Tentu hanya satu jawaban yang pasti, tidak.
Lalu, untuk apa masih memburu yang tak perlu, memburu sesuatu yang tidak dapat menjamin kebahagiaan dunia akhirat? Bukan berarti ada larangan untuk mencari pasangan yang sempurna rupa ataupun harta, akan tetapi, bersikap bijaklah pada diri sendiri. Kita hidup hanya miliki satu tuju, yakni dunia yang sebenar-benarnya dunia, disanalah tujuan utama manusia. Bukan hanya tawa dunia yang kita butuhkan, bukan hanya cinta dunia yang kita perlukan, melainkan lebih dari itu. 

Setiap dari kita memiliki hak dan pendapat yang berbeda, tentu. Tidak semua memiliki pemikiran yang sama, menganggap bahwa dunia bukan satu-satunya tujuan akhir, menyadari bahwa sesungguhnya Allah tidak melihat manusia dari apa yang dia miliki, melainkan dari apa yang ia usaha perbaiki. []
Lampung, Kamis 26 Mei 2016
Artikel ini telah lolos terbit di laman web Islampos.com pada tahun 2016 silam...

Kamis, 06 September 2018


Izinkan Aku Mencintaimu Dengan Sederhana
By: Pipit Era Martina

Langit biru berhias cahaya mewah dari sang senja. Siapapun akan termanjakan oleh pancarannya yang kian memikat hati, menentramkan jiwa. Terlalu indah jika hanya kuhabiskan tatapan senja sendiri, disini. Aku melangkah keluar meninggalkan kamar dan mendekati senja. Aku duduk di teras sembari memandang indah ciptaan Allah yang begitu menyejukkan hati. Pikiran menerawang jauh, teringat seseorang yang merubahku menjadi lelaki yang cerdik. Yang seringkali membuat tersenyum akan kelembutan kata-katanya. Dan tak jarang membius batin. Dari sebuah kisah sekolah, aku mengenalnya. Rasa aneh ini muncul sejak tiga tahun yang lalu. Pada sosok anggun yang membuatku terpana akan pesonanya.

Ponselku bergetar, tanda satu pesan masuk. Aku tersenyum ketika melihat nama yang terpampang di layar handphone. Iya, itu dia. Wanita yang baru saja menari dipikiranku.

“33 kiat shalat yang sempurna dan diterima” Begitulah isi pesannya.

Itulah dia yang seringkali mengirimiku pesan tentang segala pengetahuan Islam. Biasanya, itu adalah awal dari percakapan kami, dan tentu aku akan membalasnya dengan secepat kilat. Setelah membaca apa isi dari pesannya, tak jarang aku melemparkan pertanyaan atau hanya sekedar sapa agar percakapan kami berlanjut. Tujuh tahun aku mengenalnya, membuatku merasa benar-benar mengenal dirinya. 
Bermula dari kelulusan sekolah dan kisah hijrahnya. Itulah yang mengantarkanku menuju rasa aneh itu. Aneh, tentu saja aneh. Aku mencintai sosok yang sudah hampir empat tahun tak pernah terlihat oleh sepasang mataku ini. Karena aku mencintai sosok yang tak pernah kudengar suaranya oleh sepasang telingaku ini. Entah seperti apa raut wajah dan suaranya saat ini. Tapi hatiku peka.

Kukemasi beberapa pakaianku ke dalam ransel kecil. Aku akan pulang. Dan tak lama lagi rasa penasaranku pada sosok yang selama ini menghantui bathinku akan terjawab. Ya, aku akan pulang kerumah dan menemuinya, dirumahnya. Dia yang selama ini banyak membantuku. Membantuku melepaskan masa kelam. Aku melihat bayangku di kaca dan bersiap pergi dengan penuh keyakinan hati. Aku mencium tanganku sendiri sembari berharap dalam hati. Semoga niatku terbalas dengan sempurna. Aku melangkah menuju sepeda motorku, meninggalkan kosanku perlahan, hingga tak terlihat.


Setelah 5 jam perjalanan, sampailah aku di tanah kelahiranku. Beberapa menit lagi aku akan sampai dirumah kedua orang tuaku. Orang tua yang sudah menungguku dirumah. 10 menit, 15 menit, 45 menit. Aku sampai tepat di depan rumah. Disambut senyum dan pelukan hangat, aku merasa begitu bahagia.

“Alhamdulillah sudah sampai”

Ku dengar suara ibu yang menggema, menggembirakan. Kugenggam erat pundaknya, dan kutatap kedua bola matanya. “Ohh, betapa teduhnya tatapan mama” Aku bergumam dalam hati.

“Aku bahagia sekaligus takut bu”

Suaraku yang terdengar sedikit gemetar, menggelegar hingga ke telinga Ayah. Aku terhanyut dengan perasaan aneh ini.

“Tak apa, semua akan berjalan dengan baik” Sahut ayah, sembari mencengkram jemariku yang serasa dingin seketika.

“Ayo masuk dan istirahatlah, nanti malam kita diskusikan ini” Kata Ayah.

Aku berpikir sesaat, dan menganggukkan kepalaku perlahan.
Aku mendengar suara ketukan pintu, ku buka perlahan mataku. Mataku bertemu dengan senja yang senantiasa memberikan roma kesejukan, dan aku tak berkedip. “Senja, akankah dia menerimaku?” Aku bertanya, seolah senja mendengar celotehku.

Malam mulai larut, kemelut hati kian berkabut. Keseriusan yang terlukis di raut wajah orang tua tak kunjung hilang, sedari tadi.

“Jadi tekadmu sudah bulat nak?” Pertanyaan yang kesekian kalinya.

“Ya, aku yakin” Jawabku, tanpa sedikitpun keraguan.

Sejenak aku terhanyut oleh kata-kataku sendiri. Gemuruh jantung begitu kencang kurasakan. Harapku, semoga Allah meridhai niatan suciku.

Denting jam begitu kencang di pendengaranku. Langit biru telah berganti hitam. Senja telah berganti bulan dan bintang. Namun mata tak kunjung terpejam. Ada rasa gundah dan gelisah yang menguasai raga.

“Ya Allah, tidurkanlah aku malam ini” Pintaku.

***

Keesokan harinya, jarum jam menunjuk angka sembilan lewat lima belas menit. Rumahku terasa sunyi, sepi. Hanya suara tapak yang sedari tadi kesana-kemari. Sejak tadi pagi, aku terus berdiskusi dengan hatiku. Dan mengikuti alur detak jantungku yang tidak beraturan. Tak lama, semua siap. Aku menatap lekat wajahku di cermin. Seakan masa depan ada di dalamnya. Bismillah, aku dan kedua orang tuaku berangkat. Pergi kerumahmu, Hafsa.

Tak lama kakiku sudah tegak berdiri di depan sebuah rumah. Disambut dengan hangat dan senyum harapan. Mataku segera berlari mencarimu, tapi tak kutemukan. Cakap-cakap bersama orang tuamu tak membuatku tenang. Pikiran kian tak karuan.

3 menit, 5 menit, 10 menit.

Tak ada. Aku terus memandangi benda yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Kian gelisah, tapi tak apa.
Dan,

“Assalamu’alaikum”

Aku mendengar suara dari belakangku, ku putar perlahan leherku. Mataku bertemu dengan sepasang mata lain, dan aku tak berkedip.

“Ini dia pemilik tatapan teduh yang sesungguhnya” Gumamku dalam hati.

“Ayo sini duduk” Ajak Ayahmu.

Aku masih tak berkedip. Terhipnotis oleh pancaran matamu. Jantungku kian bergemuruh riuh.

“Jadi gimana nak?”

Aku terhenyak mendengar suara ayahmu. Fokusku benar-benar hilang. Kata yang ku tata mendadak hilang. Apa yang akan aku katakan? Sedang semua terdiam menanti ucapku.

“Hey!”

Kali ini suara ayahku yang mengangetkan. Kutarik nafas dalam-dalam. Setelah rangkaian kata terucap dari lisan ayahku, kini giliranku. Kuutarakan maksud hati. Kunantikan jawaban pasti. Semua terdiam. Suara denting jam tidak lebih cepat dari detak jantungku.

“Bismillah. Iya, aku mau” Katamu pelan.

Mataku terbelalak, aliran darah terhenti.

“Alhamdulillah” Sorak ramai membuatku tersadar kembali.

Ada kesejukan yang tiba-tiba mengalir. Ada cahaya yang tiba-tiba menerangi. Dan ada keteduhan yang tiba-tiba memayungi. Tanpa basa-basi lagi, hari pernikahanpun di tentukan. Setelah selesai semua pembicaraan. Aku dan keluarga bergegas pulang. Dengan hati riang dan tenang.

***

Tiga bulan kemudian.

Kini dia bukan lagi sosok semu dalam duniaku. Dia adalah sosok nyata dalam mimpiku. Sedikit lagi. Dia seolah selalu mensugesti ku untuk selalu tersenyum, untuk selalu taat. Dia anggun, benar-benar menjaga. Aku kagum, tak lama lagi dia akan menjadi istriku. Alhamdulillah, Allah memberiku waktu untuk mencintaimu. Mencintaimu dengan cara yang sederhana.

Kakiku gemetar. Berkali-kali kutatap wajah ini di cermin, rona gugup terpancar jelas disana. Gemuruh jantungku kian riuh, tanganku semakin dingin kurasa. Rasa ini lebih dari kata aneh.

“Ya Allah berikanlah kemudahan dan kelancaran” Pintaku berkali-kali.

Suara langkah kaki kian membuat hati tak karuan. Ada seseorang yang mendekati kamarku yang kemudian membuka pintu.

“Ayo nak, semua sudah siap” Ibu berdiri di depan pintu. Terlihat anggun dengan kebaya berwarna peach yang ia kenakan.

Kami pergi untuk kedua kalinya kerumahmu. Setelah tiga bulan yang lalu. Sepanjang perjalanan pikiranku tak karuan. Entah perasaan aneh apalagi ini. Berbeda dengan tiga bulan yang lalu. Perjalalanan kali ini terasa sangat lama. Lama sekali.

“Itu dia pengantin laki-lakinya sudah datang” Aku mendengar suara keributan itu. Entah bersumber dari siapa. Langkah kakiku terasa berat. Seperti tak kuasa mengayunkan kaki. Ayah dan ibu mengapit kedua tanganku. Menuntunku menuju altar pernikahan. Bergetar seluruh tubuhku. Berdegup kencang hatiku.

Suasana hening. Bibirku masih saja terkatup. Suara penghulu yang memecah suasana kian membuatku gugup. Kata demi kata terlontar dari lisan penghulu. Dengan cermat kufokuskan pikiran. Dengan khidmat ku amati kata-katanya. Aku menjadi seseorang yang penuh kegembiraan, banyak alasan. Benar-benar terasa mimpi, dan seketika hatiku menyadari bahwa semua ini memang benar-benar nyata.

“Saya terima Nikah dan kawinnya Hafsa Hastari binti Hi. Nursalim dengan mas kawin tersebut di bayar tunai” Suara riuh mendadak memenuhi ruang tamumu.

“S-A-H...” Teriak orang-orang disekitarku. Rasanya ada yang menghantam hatiku. Sehingga satu nama yang berada di dalamnya nyaris terjatuh. Mataku perih, tak terasa air mata merambah jatuh. Bersujud aku, bersyukur kepada Allah.

“Terimakasih Ya Allah atas kelancaran yang KAU berikan”

Aku bangkit dari sujudku. Memandang sekitar dengan senyum terlukis indah di wajahku. Kuusap air mata yang terjatuh. Benar-benar lega. Antara senang. Bahagia. Terkejut. Dan entah. Semua rasa bercampur membaur menjadi satu. Dan aku lupa. Satu peristiwa belum kulewati. Hafsa, istriku. Belum menampakkan wajahnya. Ahhh, hatiku kembali bergetar. Seperti apa rupanya?

Dag.. Dig.. Dug.. Jantungku kembali berdegup lagi. Aku menanti. Tak lama, semua mata memandang ke arah belakangku. Perlahan ku putar leherku. Persis seperti tiga bulan lalu. Namun berbeda. Pancaran cahaya wajahmu mengalahkan sang kejora. Sorot mata meneduhkanmu mengalahkan senja. Aku tak berkedip. Aku merasa heran. Aku hanya terdiam. Hatiku tak karuan. Bahagia luar biasa.

Kami duduk bersampingan. Mengucapkan do’a. Dan tiba saatnya pemasangan cincin. Tanganku terasa dingin. Mencoba meraih tanganmu. Dengan wajah malu kau ulurkan tanganmu, ragu. Tanganmu kaku, canggung. Aku hanya bisa tersenyum, tersipu malu juga. Untuk pertama kalinya aku menyentuh punggung tanganmu. Begitu lembut kurasakan. Tak banyak kata yang terlontar dari kami. Hanya mata yang sesekali curi pandang. Malu-malu.

Hafsa, istriku. Izinkan aku mencintaimu dengan cara sederhana. Sesederhana kata yang diucapkan angin pada daun yang membuatnya jatuh. Dan sesederhana isyarat senja kepada malam yang menggantikannya dengan sang kejora.

Masih, selalu, dan akan terus kusimpan namamu di ruangan terdalam hatiku. Sampai nanti, sampai kapanpun. Aku menyeruput secangkir kopi di teras atas rumah kami. Dan seseorang memelukku dari belakang, aku menatapnya. Mengecup keningnya. Lagi-lagi aku terhipnotis oleh sorot mata teduhmu yang selalu bisa menenangkan hatiku. Terimakasih.

Malang, 07 September 2018

Selasa, 04 September 2018


Ana Uhibbuka Fillah, Aku Jatuh Cinta Ke Sekian Kalinya
By: Pipit Era Martina

Senyuman senja disore hari melambai lembut pada mentari yang tengah asik memandang riuh rerumputan yang bersenandung ria bercerita tentang cinta yang tiada habis dalam pembahasan. Mengantarku pada kenang yang telah lama terpendam apik dipelataran qolbu. Merindu sajak cinta yang bergema di altar pernikahan, yahhh sepuluh tahun sudah, suara yang menggemakan rasa tersimpan dalam angan, membumbung tinggi di album senja.  Kupandang lekat potret pernikahan yang masih tersusun rapi dalam album foto, ‘ahhh betapa indahnya masa itu’ gumamku berselimut haru, seketika rasa itu bernostalgia dalam raga, menari lagi seperti sepuluh tahun silam, sedang angin menertawaiku penuh canda.


Bukan perkara mudah melampaui waktu bersama satu orang yang harus kulihat dari mulai terbukanya mata hingga terlelapnya rasa, mengabdi hanya pada satu cinta, mencumbu hanya pada satu rasa dan merindu hanya pada satu raga. Dulu, anganku tak serumit itu, mengukir indah bayang bahtera pernikahan, melukis cinta penuh warna yang tak kusangka hanya hitam putih pada akhirnya. Menggemakan rasa berkerudung cinta di tiap hembus nafas bukanlah satu-satunya dalam biduk rumah tangga, banyak suara yang menghias di tiap sudut keseharian. Coba dan goda jadi santapan yang kian membuyarkan rasa cinta, melunturkan gema syahdu di hari itu. Bayangku rumah tangga kan dipenuhi dengan aroma cinta di tiap harinya, berdendangkan syair rindu di tiap menitnya, dan berwarnakan jingga di tiap sudut pandangnya. Namun nyatanya, aroma ego menguasai diri, syair amarah terkadang menyelimuti raga hingga rindu tak kuasa membendungnya, bahkan warna jingga yang kuharapkan terkadang hanya berwarna hitam putih berterbangan di tiap sudut pandang.

Sajak mentari yang menyejukkan membuat hati bergumam sendu, sentuhan embun  berhasil menyentak kedalaman rasa, bahwa bahagia bukan hanya tentang cinta melainkan ada Allah yang senantiasa lekat ditiap denting waktu. Mungkin sadarku tak secepat layangan cintaku padamu di masa itu, namun sadarku seketika tersentak saat ku sadar bahwa cintamu suci berlandas iman yang mengguyuri. Ketika cinta berlandaskan iman, maka cobaan yang menghampiri bukanlah menjadi cobaan yang menjadikan penghalang untuk memperkuat ibadah serta iman dalam diri. Namun ketika cinta berlandaskan nafsu, maka coba dan goda menjadi bumerang yang meruntuhkan kekuatan cinta dan iman dalam genggaman. Syukurku tak henti tentangmu, menatap lekat peluhmu membuatku sadar, tak selamanya ego menjadi penengah dan tak selamanya amarah menjadi jalan satu-satunya dalam penyelesaian. Meski cinta tak menjamin bahagia, tapi dengan cinta, iman kan terjaga dengan sempurna. Sedang cinta tak’kan menjadi sempurna tanpa adanya iman yang melekat dalam pelipis cinta itu sendiri.

Ana uhibbuka fillah my heart, my hero and my life, aku jatuh cinta untuk ke sekian kalinya, debar jantungku seakan bernostalgia, tatap senja yang menggoda membuatku malu pada rasa yang kini kembali memburu, ku harap rasa ini akan menjadikan biduk rumah tangga kembali beraromakan cinta yang kian bermekaran di tiap denting waktu yang berlalu. Senja yang sedari tadi menatap, melempar senyum penuh harap bahwa cinta yang terekat tak’kan terlepas hanya karena sebuah hasrat. Mencumbu kembali rindu yang mungkin mulai semu, membingkai rasa berlukiskan cinta, membalut raga dengan iman yang menguatkan, sungguh tiada kenikmatan serta kebahagiaan yang dirasa tanpa adanya iman yang membalut cinta dalam percintaan antara manusia. Tak ada hal lain yang membuat bidadari cemburu, selain cinta suami istri yang terbalut anggun dengan iman yang tak pernah renggang termakan waktu. I hope, we will be together forever until jannah, Ammin ya rabbal ‘alamin Istajib Du’ana Ya Allah. _True story

Malang, 04 september 2018

Jumat, 24 Agustus 2018


Wanita Munafik
By: Pipit Era Martina

 
Sering nggak sih denger kata- kata munafik? Khususnya buat wanita-wanita yang pakai hijab nih. Sering banget yah dapet kata-kata munafik, “munafik banget sih, pakai jilbab tapi masih aja ngomongin orang”, “pakai jilbab kok masih pacaran, apa bukan munafik namanya?”. Nah, tahu nggak sih munafik itu apa? Munafik itu sifat dimana dia berdusta, bisa dikatakan bermuka dua atau berlidah dua. Nah apakah dengan memakai jilbab kemudian menjadi punya muka dua? Dan kemudian  dapat dikatakan dengan munafik? Bukankah jilbab dengan tingkah laku atau akhlak merupakan dua hal yang berbeda? Jilbab itu sesuatu yang dikenakan, sedangkan akhlak itu adalah sesuatu yang kita lakukan. Apakah dengan kita menggunakan hijab kemudian berkata kasar pantas dikatakan dengan munafik?


Wanita berhijab bukan berarti dia sempurna, bukan berarti semua kata-katanya sudah baik, akhlaknya baik, terus nggak pernah ngomongin orang. Tidak!!! Wanita berhijab juga mannusia, tempatnya salah dan khilaf, bukankah kamupun demikian? Sama-sama manusia yang sering banget buat sala. Nggak ada manusia yang sempurna tanpa kesalahan, tapi ada manusia yang berusaha untuk tidak berbuat kesalahan. Nah, salah satunya itu kita, kita berusaha gimana caranya memperbaiki diri, tingkah laku dan lain sebagainya. Caranya dengan kita menutup aurat dengan benar, diikuti dengan menata tingkah laku menjadi lebih baik lagi. Jadi bukan berarti kita munafik, katakanlah kita yang memakai hiijab ini tingkah lakunya lebih buruk dari kalian, oke. No problem, klo kalian berkata demikian, tapi bukan berarti kalian bisa melayangkan kata-kata munafik tanpa dasar bukan? Akhlak itu dapat diperbaiki seiring berjalannya waktu, perlahan namun pasti, kain penutup kepala ini dapat membimbing kita menjadi lebih baik, lebih pandai menata kata, dan yang pasti lebih menjaga ucapan dari kata-kata yang mampu melukai sesama. Semua butuh proses, toh kalian juga punya proses bukan? Sama, kita juga punya proses, hanya saja proses kita dan kalian terlihat berbeda meskipun pada dasarnya sama, sama-sama menuju proses yang lebih baik dan lebih baik lagi.

Satu hal yang kita tahu, jilbab itu satu hal yang wajib bagi wanita muslimah, tidak ada satu alasanpun yang diterima Allah untuk tidak mengenakan hijab. Wanita yang tahu akan kewajibannya sebagai wanita untuk menutup aurat, percaya deh, perlahan-lahan munafik yang kalian katakan itu akan hilang di telan jilbab. Bukan berarti yang memakai jilbab lebih baik dan amalnya lebih besar, tidak!! Tapi satu hal, wanita berhijab satu langkah lebih menyadari akan pentingnya kecantikan yang hakiki. Wanita berhijab itu sudah pasti perlahan-lahan akan menjadi lebih baik karena dia malu dengan hijab yang dia kenakan, sungkan jika terus berperilaku tidak baik dibawah pengawasan hijab yang selalu dikenakan. Intinya, wanita yang baik dia pasti tahu mana yang lebih utama dan paling utama untuk dilakukan sebagai wanita muslimah. Kalau kalian wanita muslimah, stop bilang munafik, percuma ataupun kata-kata serupa lainnya. Sibukkanlah diri untuk introspeksi diri, sudahkah kita lebih baik dari mereka, sudahkah kita menuhin maunya Allah, sudahkah kita menghargai diri kita sebagai wanita? Kalau belum, mending kita sama-sama menuntun buat jadi wanita yang lebih baik tanpa mengomentari orang lain, tanpa harus melukai orang lain. Allah itu menilai kita sesuai dengan apa yang kita lakukan, semuanya tanggung jawab kita, jadi daripada sibuk ngurusin orang lain yang belum tentu ita lebih baik dari mereka, lebih baik kita urusin diri sendiri untuk dapet nilai yang memuaskan dari Allah.

Penulis menulis ini bukan berarti penulis adalah orang yang sudah baik, dan lebih baik dari pembaca, tidak. Penulis mencoba mengingatkan diri sendiri untuk menjadi lebih baik dan ingin mengajak pembaca untuk belajar bersama menjadi manusia yang lebih baik dari hari kemarin. Penulis percaya, kita masih dikasih banya kesempatan sama Allah untuk merubah diri menjadi wanita shalihah dengann akhlak yang baik pula. Yuk, bareng-bareng ngelangkah lebih baik lagi dan saling menasehati bukan menghakimi.

Salam wanita berproses, Malang 25 Agustus 20118

Minggu, 19 Agustus 2018


Ketika Bumi Menafsirkan Cinta
By: Pipit Era Martina

C-I-N-T-A, satu kata berjuta kisah. Ketika satu kata merubah segala rasa, bahkan mampu merubah warna dunia. Mampu menerbitkan mentari dalam hati dan menyinari rasa dengan jutaan cahaya, merobek awan dan meruntukan buih-buih hujan menjadikan dedaun turut berbisik akan indahnya dunia yang bersemi bersama cinta. Ketika bumi menafsirkan cinta, manusia tiada kuasa menolak, bahkan jemaripun tak kuasa melambai. Mata yang terkatup seolah terhunus benderangnya matahari, hingga terbelalak tak terkatup lagi. Lamban gerak menjadi ringan dan beralaskan senyuman, mewarnai gerak yang terarah dan cerah.


Ketika bumi menafsirkan cinta, semerbak bunga menjulang tinggi ke udara, mengabarkan pada angin bahwa cinta menyekap dunia. Kicauan burung terdengar ramai tak berkesudahan ketika dedaun turut tertawa bersama angin, dan mataharipun tak terasa panas disaat awan bercerita tentang cinta. Cinta yang menjadi perbincangan, nyatanya sempurna menyandra jiwa, mengekang rasa sedemikian rupa, hingga lupa pada luka yang bersemayam nyaman dalam benak. Mengusap airmata dengan lembutnya dan menggantikannya dengan senyuman indah bermahkotakan mutiara. Membungkus rapi kesepian yang kemudian melemparkan kebahagiaan berlumur cinta tiada tara.

Ketika bumi menafsirkan cinta, tak ada lagi kegelapan dalam jiwa, bintang yang semula enggan berhadapan, kini siaga dalam penerangan. Bahkan, bulan yang seringkali sembunyikan cahaya kini selalu hadir bersama cahaya tanpa gelap. Menerangi dan menemani tiap langkah kecil menuju tapak kebahagiaan beratasnamakan cinta. Betapa indah terasa, seakan gelap tak sudi lagi menghampiri dan sepi enggan lagi singgah dalam diri. Hujan yang acapkali menghantam daun dengan kerasnya, seolah berubah menjadi belaian lembut yang menyejukkan. Tangis yang terdengar disaat hujan berdatangan seketika berubah menjadi tawa bahagia beraromakan semerbak dahlia.

Ketika bumi menafsirkan cinta, katapun tak lagi berserakan tanpa makna. Rasa yang tertata menjadi rapi dalam ruang hati, tersusun penuh cinta. Mata yang bercucur benih kepedihan kini menjelma menjadi buih kasmaran, bahagia yang tak sanggup tertuang dalam kata. Jemari yang lemah tak berdaya menjadi bertenaga, bergerak dengan indahnya mengayunkan cinta ke udara. Bibir yang semula tak kuasa berkata, seolah terbuka lebar hingaa ribuan kata terucap dengan indahnya. Disaat diri menyadari, jenuh yang dirasa seketika hilang bak ditelan bumi, mungkinkah bumi menghanguskan jenuh ataukah melenyapkan tanpa jejak?. Entahlah, awanpun tak mampu memberi penjelasan, kenapa dunia seakan berubah sedemikian cantiknya, menjadikan semua penuh warna tanpa cela. Tak ada satu orangpun yang berkata bahwa ini drama, akankah realita seindah ini?

Ketika bumi menafsirkan cinta, bayang ketakutan berubah menjadi lukisan indah bercorak ketentraman. Merobek gagap yang hinggap, menjelmakan lelah menjadi indah berbunga. Kesedihan yang acapkali hinggap, seolah terhempas jauh dari pikiran, yang hanya terisi tentang kebahagiaan tak berkesudahan. Mewarnai diri dengan cinta, menunjukkan tatap dengan indahnya corak pelangi, mengayunkan langkah pada gagahnya bumi berpijak. Mengakibatkan gunung sejenak iri akan kuatnya tapak beralaskan cinta. Bahkan lautpun cemburu pada lembutnya belaian awan ketika diri bermandikan cinta. Berbeda dengan rumput yang justru turut mengabarkan pada angin bahwa pedih yang terpenjara selama ini telah sirna termakan cinta. Tak jauh berbeda dengan kepakan sayap kupu-kupu yang tak pernah bosan menceritakan pada udara bahwa luka telah terkalahkan oleh cinta bermahkotakan mutiara.

Ketika bumi menafsirkan cinta, bumi ‘kan menguraikan lembaran demi lembaran kisah cinta tak berkesudahan. Melantunkan kasih dengan rintihan hujan yang menyejukkan, diiringi pelangi yang menghiasi serta sorakan dedaun yang menyuarakan rasa bahagia terhadap cinta. Namun ketika manusia menafsirkannya, sejenak hati tercekik, kata seolah terpekik hingga pikiran menghentikan alurnya. Mengembang jauh ke angkasa namun tak tertafsir dalam kata, berbunga indah di dalam jiwa namun tak kuasa melukisnya dalam untaian bait. Bahkan senyum yang terkembang menggambarkan cinta yang tak tertuang, terekam apik namun tak terungkap, meluap sempurna bersama mekarnya bunga tapi hanya bersemi dalam jiwa, tidak dengan kata. Ketika manusia menafsirkannya, mereka kan berkata ‘aku bukanlah pujangga cinta yang pandai menafsirkan, melainkan hanyalah korban dari cinta itu sendiri dan tidak memahami cinta yang sebenarnya’.

Bumi berbalut cinta, Malang 20 Agustus 2018

Not to Judge Person From The Fashion
By: Pipit Era Martina

Disaat bintang membagi cahaya pada bumi, pernahkah bulan melarang? Disaat Matahari menggantikan bulan di malam hari, adakah bulan menolak? Dan disaat awan menurunkan hujan, pernahkan matahari mengelak? Tidak pernah bukan? kenapa? Yaa karena mereka miliki porosnya masing-masing. Mereka punya tempatnya masing-masing dan merekapun punya hak kapan mereka terbit dan tenggelam. Begitupun manusia, bukankah kita sama dengan bulan dan bintang? Sama-sama makhluk ciptaan Allah SWT, bahkan manusia lebih mulia dibanding seluruh ciptaan Allah, lebih sempurna. Lantas kenapaa? Justru makhluk yang paling sempurna yang banyak berkata tanpa berkaca?


Sering banget kita lihat, kita dengar, sesama manusia saling berkata, baik itu dalam kebaikan atau keburukan. Pernah nggak sihh kita merenungkan diri, menyadari kalau apa yang kita ucapkan itu ternyata lebih buruk dari diri kita sendiri? Dengan mudahnya kita berkomentar, “ahh dia mah nggak berjilbab, pasti kelakuannya nggak baik. Pasti begini, pasti begitu”. Heyyy, sadar diri dong! Kita ini siapa? Daripada berkomentar begini begitu mending kita pulang terus ngaca dirumah, udah sempurna belum iman kita? Jilbab yang dipakai sudah sesuai belum sama ajaran Allah?. Kalau belum lebih baik diam dan benahi diri.

Kita bukan designer yang punya hak buat ngomentarin fashion orang, designer aja nggak mau sembarang berkomentar meskipun dia tahu fashion yang digunakan orang lain itu tidak pantas. Kita sebagai sesama muslim, tugasnya itu mengingatkan, mengajak, bukan berkomentar. Kalau tugas kita berkomentar, orang lain nggak akan ada berhentinya ngomentarin kita, kenapaa? Ya karena kita itu kurangnya banyak banget. Kenali diri, malu sama jilbab yang tiap hari dipakai kalau kita masih sering komentarin hidup orang lain. Orang yang tidak atau belum berhijab bukan berarti mereka lebih buruk dari kita yang sudah berhijab. Begitu pula sebaliknya, kita yang sudah berjilbab belum tentu amalnya lebih banyak dibanding mereka. Jilbab memang wajib, tetapi, tidak semua orang cepat menyadari betapa berharganya rambut mereka, dan kecantikan mereka. Akan tetapi, Allah punya rencana tersendiri terhadap kita semua, banyak orang yang sudah berhijab lantas dibuka, tapi ada juga yang tadinya berpakaian terbuka menjadi shalihah. So, buat apa sibuk komentarin fashion orang lain?

Percaya deh, ketika kita sering komentarin hidup orang, fashion orang, maka kita akan lebih banyak lagi dikomentarin sama orang lain. Karena pepatah itu jarang salahnya, apa yang kita tanam ya itu yang akan kita tuai. Seorang anak yang sering melihat orang tuanya bertengkar, jelas si anak bakalan sering bertengkar juga, kenapaa? Karena mereka enirukan apa yang sering mereka lihat. Dan kalau si anak sering lihat orang tuanya shalat berjama’ah, ngaji bareng, yakin deh, anak kecil tanpa disuruh bakalan ngikutin orang tuanya shalat. Nahh artinya apa? Artinya, kita nggak perlu banyak berkomentar dan berkata ini itu, cukup kita lakukan dengan baik, maka hasilnyapun akan baik. Kalau kita mau teman kita pakai jilbab, ya kita harus pakai jilbab dulu. Intinya, semua itu bermula dari diri sendiri, kalau kita baik insyaAllah didekatkan dengan orang baik, tapi kalau kita demennya komentarin hidup orang, yaa alamat kita bakalan sering dapat komentar dari orang lain juga.

But, remember it! Hidayah itu tidak datang dengan sendirinya, hidayah itu maunya di jemput, bukan datang tak di undang. Kalau kamu mau didatengin sama hidayah, ya kasih dulu undangannya terus dijemput. Bukan Cuma di kasih undangan terus kamunya diem nungguin tanpa gerak. Hidayah itu jangan disamain dengan tamu undangan, yang cukup kita kasih kertas undangan terus dia dateng sendiri, tidak! Hidayah itu seperti harta karun yang harus kita jemput, harus di cari sampai ke lubang-lubang, nyarinya pun nggak sembarang nyari. Sama halnya dengan harta karun, yang perlu persiapan dan pakai peta, bukan cuma modal kata.  
Nah, mulai dari sekarang, yuk kita bareng-bareng belajar untuk tidak berkomentar tidak baik tentang orang lain. Lebih baik, kita perbaiki diri, benahi fashion sendiri, tata hati dan pikiran sebelum berkata, itu jauh lebih baik dibanding berkomentar terhadap kehidupan orang lain. Berkacalah sebelum berkata dan berpikirlah sebelum bertindak, karena setiap kata dan tindak selalu ada balasannya. Salam shalihah, semoga Allah mengizinkan kita berjumpa dan bercakap banyak kata di surga-NYA. Aamiin.

Goresan kata hati, Malang, 19 Agustus 2018

Senin, 13 Agustus 2018

Kudapati Mentari di Kediri
By : Pipit Era Martina

Lembutnya hujan yang membelai dedaunan, nyatanya tak pula sampai pada hati yang berserakan akan rasa yang berkerumun mencekik akal. Teriknya mataharipun tak mampu melelehkan pola cerita luka yang kubawa, akankah bersemi hingga pagi tak lagi bernyanyi? Kupu-kupu yang mengepakkan sayap dengan bebasnya membuatku cemburu, dengan cantiknya menghampiri bunga mekar di bawah rindang kesejukan. Tatap cantik langit kian membuat hati meratap, menatap jauh tak beratap, akankah berujung taat pada satu yang terikat?

Yahhh, semua semu berselimut kelabu tak menentu, membuat langkah kian meragu akan terangnya mentari. Bagai pelangi terbit ditengah terik, kemustahilan mencumbu pikiran dengan nikmatnya.  Membayang menari diatas altar kebahagiaan seolah hanya khayalan tanpa pembuktian, berjuta tanya memenuhi ruang jiwa, akankah mentari hadir dalam hati untuk saat ini?

Dan seketika Allah merubah semua jalur pemikiran, menarik hati, meluncurkan simpati pada diri sendiri, mencoba tunjukkan bahwa dunia memihak. Menciptakan mentari ditengah kebisingan hati, meletakkan mutiara pada jiwa yang sempat terluka, terbawa arus tak bernyawa. Tak terkira, kemustahilan itu terpampang nyata didepan mata, keinginan yang seolah tak mungkin, terwujud apik disini, Kediri. Banyak cerita hanya untuk singgah di kota yang jauh dari tatapan mata, melampaui tapak airmata, menjelajah jejak tawa hingga pada akhirnya kaki berpijak disini, Kediri.


Mentari yang bersinar ketika hujan membasahi menjadikan luka seketika tertutup, membuang rasa kecewa, memberikan kebebasan pada dunia untuk mengantarku pada bahagia yang nyata. Mengajarkan ilmu bahwa mentari pasti kan terbit, tanpa diminta, disaat kita berada pada titik putus asa atau pada saat bahagia menguasai raga. Percaya akan satu hal, embun yang senantiasa menyejukkan tak kan pernah melukai daun, begitupun dunia yang mempesona takkan membiarkan penghuni terluka karenanya. Meski seringkali hujan merusak pepohonan, namun bumi tak pernah menyerah untuk membuatnya kembali berdiri dengan pernak pernik cintanya. Dan sesering apapun kita mengeluh, mentari tak pernah luput dari kehadirannya, merubah luka menjadi tawa dan merubah airmata duka dengan cinta yang tak biasa.

Tapak singkat yang menjejak di Kediri, berhasil ciptakan generasi baru dalam diri, membungkus apik goresan hati yang tersakiti dan merubah hati kembali suci. Kudapati titik mentari di Kediri, bersahut cahaya di tiap senja, menyemarakkan cinta di tiap harinya dan menebarkan kasih di sejarah waktunya. Kini, rembulan bukan hanya sebagai penerang jejak akan tetapi menjadi pencahaya di tiap sudut ruang. Kemerlip bintang menjadi saksi, kediri ialah kota yang menjadikan hati kembali tersinari, menetapkan diri pada cinta Illahi yang haqiqi. Dan matahari sampaikan senyum bahagia, ketika jemari tak lagi berdusta menyuarakan Asma-NYA di tiap detik yang terlewat. Hingga malampun memeluk dengan hangat, seakan menyemarakkan cinta yang terbalut indah bersama takdir cerita Hijrah.

Kota terkenang, Kediri...⧪⧪⧪⧪৻⧪

Minggu, 12 Agustus 2018


Ada Cahaya di Asrama
By : Pipit Era Martina

Senyuman mawar yang indah tak kan mungkin dapat terlukis dalam rangkaian kata maupun sulaman sketsa. Yahhh, seperti itulah rasa yang kami dapati selama di asrama, asrama yang menyisakan ribuan cerita, ratusan airmata namun berlimpah tawa yang tak dapat terukir dan tak pula dapat terulang. 


KARIN, satu kata yang menyimpan puluhan rahasia, cahaya dan juga cinta. Tak pernah terbersit dalam angan, kami kan temui cahaya yang selama ini menerawang jauh dalam pandangan, meraba rasa yang ternyata terkupas dalam asrama. Berbeda budaya dan bahasa bukanlah halangan untuk kami saling berbagi rasa, nyatanya perbedaanlah yang menyatukan cinta kami menjadi indah, penuh warna berhias tawa.

Riuh renyah canda tawa berhasil melepas lelah yang menggantung di pundak, seolah meruntuhkan masalah yang tak kunjung usai. Kebersamaan yang singkat bukan berarti kesan tak tersirat, faktanya kisah kami terus melekat dalam ingat dan terbuai indah dalam benak. Ahh, ingin rasanya kembali  pada pelukan yang selalu menghangatkan juga tawa yang selalu menentramkan.

Ada cahaya yang tak biasa dalam asrama, cahaya yang lahir dari indahnya senyuman bahagia ketika bersama. Kami bersama karena berbeda, langkah dan tujuan yang serupa menjadikan hati kami bersahut, genggaman erat melangkah bersama mencoba menggali ambisi yang belum jua usai terealisasi. Karakter yang beraneka rupa menjadikan kami tahu bahwa dunia bukanlah hanya untuk bertandang hidup, melainkan meraih genggaman dari ribuan rasa dan rupa yang berbeda. Tak ayal, kami menjadi satu di berbagai situasi dan menciptakan kerinduan yang tak terhingga hingga melahirkan air mata ketika jabat memaksa kami terpisah karena jarak.

Sesaat termenung kala mengingat kata ‘karin’, mungkin hingga saat ini tempat yang dulu kami jadikan persinggahan ternyaman menjadi wadah cinta yang baru bagi generasi baru. Bercurah rasa menjadi bumbu percakapan di setiap detiknya, berbagi airmata pun menjadi santapan kami. Peluh yang hadir bukanlah menjadi beban berat, akan tetapi menjadi pengobat lelah dikala kami harus terus berjuang demi masa depan.

Ya, cahaya itu tampak nyata terpancar dari asrama. Cahaya yang menentramkan jiwa, cahaya yang menarik hati untuk selalu di kunjungi. Dengan cahaya itulah kami senantiasa bersua dengan gembira dan bercumbu dengan tawa tanpa beban. Bahkan diksikupun serasa habis termakan angan yang selalu menerkam tak kunjung menghilang. Akankah bahagia dapat menyatukan kami lagi disituasi yang kami ingini di suatu hari nanti?

Selalu bersemoga, raga yang terpisah tak menjadikan hati terpecah bahkan terbelah. Semoga angin senantiasa setia mengirimkan rindu pada masing-masing jiwa yang selama ini menautkan cinta tak bertepi. Semoga kisah kasih yang pernah tertoreh takkan pernah usai meski langkah gerak tak lagi beriringan, senyuman yang tak lagi nampak didepan tatap tetaplah menjadi torehan rasa ternyaman dalam angan. Dann cinta yang tertuang semoga takkan pernah hilang termakan waktu, tetaplah bermuara dalam jiwa hingga pada akhirnya cinta tak lagi bernyawa.

Karin, satu kata yang takkan pernah terlupa, menggores indah dalam sejarah cinta, terukir sempurna dalam ingatan penghuninya, dan menuangkan buih-buih cinta yang bermuara pada kasih tak berujung. Bagai rembulan yang memberikan cahaya pada bumi kegelapan, bagai embun yang memberikan kesejukan pada tapak yang gersang, bagai matahari yang senantiasa menyinari hari tanpa jera dan bagai angin yang tak pernah lelah mengukir rindu pada ruang kesenyapan, begitulah rasa cinta yang tertuang di karin, tak kan pernah jera pun sirna.

Malang, 12 Agustus 2018

Sabtu, 31 Maret 2018


Serangan Pra_Nikah
Oleh : Pipit Era Martina
#Part 1

Semerbak bau melati memenuhi ruang tamu, angin sepoi-sepoi beriringan mendendangkan nyanyian kebahagiaan. Jentik-jentik manis meliuk memperlihatkan keindahan lukisan hena, hiruk pikuk yang sedari tadi meramaikan telinga justru membuat hati semakin serasa sepi.

“kapan nikah?” ahh lagi-lagi ini yang kudapati.
Selamat kamu berhasil jadi muslimah nyebelin yang selalu mengajukan pertanyaan ini, ini dan ini lagi. Secuil pertanyaan yang seketika memekikkan rongga dada, menusuk hingga ke dasar perhentian kata cinta. Tau nggak sih? Pertanyaan seperti ini bagai sambaran petir di siang bolong.

Setiap menghadiri acara pernikahan yang di tanya kapan nyusul ? hadiri acara aqiqah di tanya lagi “kapan nikah ? Hadiri reunipun selalu di tanya perihal pasangan, ahh rasanya inginku berkata kasar, namun apa daya bibir enggan berucap. Hanya di satu tempat dimana tidak sama sekali ku dapati pertnyaan “kapan”, kamu tahu dimana itu? Yaaa... dimana lagi kalau bukan di pemakaman, adakah aku diizinkan untuk bertanya disini? “Kapan kalian mati?”

Ricuh suara burung pipit sedari tadi membuat buyar angan-angan tentang masa depan, membuatku ingin berdiam dalam sangkar agar suaraku tak terdengar. Menceritakan kerinduan pada awan yang terus berlarian, layaknya hatiku yang kian berlari mencari cinta sejati.

“beneran ya kalau aku nikahan pada dateng” ujar nanin yang sedari tadi tersenyum tanpa sebab musabab.
“oke” sahut ku, “ntar kalo nanin nikahan aku bawain sayuran satu mobil dari sekincau khusus buat pernikahan nanin” imbuhku seraya menahan gelak tawa.


“yang bener nanin mau nikah ?” Tanya jenjen yang sedari tadi sibuk dengan kapas alcohol yang di gulung-gulung tak berujung.
“iya beneran lah, lihat geh ekspresinya ketawa-tawa mulu, itu mimik muka bahagia itu” candaku dengan mata melirik ke arah nanin yang sibuk dengan bayangan pernikahan nya sembari tangan terus meliuk melipat baju tak rapi-rapi.
“ihh yang bener nanin? Sama siapa ?” jenjen yang mulai kepo pasang muka 180% penasaran.

“beneran jenjen, sudah siap semuanya itu dari bahan kebaya sampe souvenir” ujar ku yang sengaja membuat kesal dengan selalu menjawab pertanyaan jenjen yang ternyata tak di indahkan oleh nanin.
“beneran jenjen!” akhirnya nanin buka suara, masih dengan senyuman yang sedari tadi tiada usai.
“orang mana nanin?” suara jenjen yang semakin meningkat karena penasaran.
“sini, sini aku kasih tahu siapa dan dimana calon nya nanin” lambaian tanganku mengarah ke jenjen dengan semangatnya.

“nggak ah, nggak percaya aku sama kamu”ucap jenjen yang tak juga bergeming dari tempat duduknya.
“ya allah kok nggak percaya loh, beneran ini. Apapun yang mau kamu tahu tentang nanin 
Tanya sama aku, pasti nemu jawaban” selorohku yang masih dengan nada sumringah.
“gimana sih kalian ini, aku yang ngurus cathering nya masa nggak di kasih tahu, kelewatan kamu orang ini yah” ucap jenjen dengan nada yang sudah mulai sedikit kesal.
“hahahaha, “ akhirnya tawa yang sedari tadi tertahan akhirnya tumpah juga di ruang pengobatan yang hanya berisi kami bertiga.

“beneran kok ni, aku mau nikah. Makanya itu cariin jodohku” kata nanin yang masih sambil menahan gelak tawa.
“bukan calon jodoh, tapi cariin mempelai laki-lakinya. Kalo jodoh mah dateng sendiri” serobot ku.

“yah basinglah apa itu namanya, yang pasti blom ada yang mau saya nikahin” kata nanin yang sudah mulai berhenti tertawa.
“halagh, ku pikir udah beneran ada calon nya. Kalo bener kan bisa nyiapin baju dari sekarang”tutur jenjen yang sepertinya bernada sedikit kecewa.

“ya udah ada atau belom ada calon nya kan nggak ada salahnya kalo nyiapin semua dari sekarang” ujarku dengan nada yang sok dewasa.
“iya iya” anggukan nanin yang penuh dengan gaya sok misterius.
“bener itu, apa salahnya loh kita nyiapin dari sekarang jadi ntar biar nggak stress kalo udah deket-deket”nada jenjen yang sudah kembali normal.
“bener nanin, toh ujung-ujungnya ntar kita juga yang milih baju dan siapin segalanya, pihak laki kan tinggal mengimbangi aja to” ujarku yang masih dengan gaya sok tahu.

“iya besok kita cari bahan kebaya nya yah, sekalian sama souvenirnya” kata nanin dengan mimic yang nggak serius banget.
“hahahaha” tawa kembali pecah seiring terdengarnya adzan maghrib.


Note : Tulisan ini dibuat di Lampung pada 06 Juli 2016, Just Ordinary Chit Chat..