Izinkan Aku Mencintaimu Dengan Sederhana
By: Pipit Era Martina
Langit biru berhias cahaya mewah dari sang senja. Siapapun
akan termanjakan oleh pancarannya yang kian memikat hati, menentramkan jiwa.
Terlalu indah jika hanya kuhabiskan tatapan senja sendiri, disini. Aku melangkah keluar
meninggalkan kamar dan mendekati senja. Aku duduk di teras sembari memandang indah
ciptaan Allah yang begitu menyejukkan hati. Pikiran menerawang jauh, teringat
seseorang yang merubahku menjadi lelaki yang cerdik. Yang seringkali membuat tersenyum akan kelembutan kata-katanya. Dan tak jarang membius batin. Dari
sebuah kisah sekolah, aku mengenalnya. Rasa aneh ini muncul sejak tiga
tahun yang lalu. Pada sosok anggun yang membuatku terpana akan pesonanya.
Ponselku bergetar, tanda satu pesan masuk. Aku tersenyum
ketika melihat nama yang terpampang di layar handphone. Iya, itu dia. Wanita
yang baru saja menari dipikiranku.
“33 kiat shalat yang sempurna dan diterima” Begitulah isi
pesannya.
Itulah dia yang seringkali mengirimiku pesan tentang segala
pengetahuan Islam. Biasanya, itu adalah awal dari percakapan kami, dan tentu
aku akan membalasnya dengan secepat kilat. Setelah membaca apa isi dari
pesannya, tak jarang aku melemparkan pertanyaan atau hanya sekedar sapa agar
percakapan kami berlanjut. Tujuh tahun aku mengenalnya, membuatku merasa
benar-benar mengenal dirinya.
Bermula dari kelulusan sekolah dan kisah
hijrahnya. Itulah yang mengantarkanku menuju rasa aneh itu. Aneh, tentu saja
aneh. Aku mencintai sosok yang sudah hampir empat tahun tak pernah terlihat
oleh sepasang mataku ini. Karena aku mencintai sosok yang tak pernah kudengar
suaranya oleh sepasang telingaku ini. Entah seperti apa raut wajah dan suaranya
saat ini. Tapi hatiku peka.
Kukemasi beberapa pakaianku ke dalam ransel kecil. Aku akan
pulang. Dan tak lama lagi rasa penasaranku pada sosok yang selama ini
menghantui bathinku akan terjawab. Ya, aku akan pulang kerumah dan menemuinya,
dirumahnya. Dia yang selama ini banyak membantuku. Membantuku melepaskan masa
kelam. Aku melihat bayangku di kaca dan bersiap pergi dengan penuh keyakinan
hati. Aku mencium tanganku sendiri sembari berharap dalam hati. Semoga niatku
terbalas dengan sempurna. Aku melangkah menuju sepeda motorku, meninggalkan
kosanku perlahan, hingga tak terlihat.
Setelah 5 jam perjalanan, sampailah aku di tanah
kelahiranku. Beberapa menit lagi aku akan sampai dirumah kedua orang tuaku.
Orang tua yang sudah menungguku dirumah. 10 menit, 15 menit, 45 menit. Aku
sampai tepat di depan rumah. Disambut senyum dan pelukan hangat, aku merasa
begitu bahagia.
“Alhamdulillah sudah sampai”
Ku dengar suara ibu yang menggema, menggembirakan. Kugenggam
erat pundaknya, dan kutatap kedua bola matanya. “Ohh, betapa teduhnya tatapan
mama” Aku bergumam dalam hati.
“Aku bahagia sekaligus takut bu”
Suaraku yang terdengar sedikit gemetar, menggelegar hingga
ke telinga Ayah. Aku terhanyut dengan perasaan aneh ini.
“Tak apa, semua akan berjalan dengan baik” Sahut ayah, sembari mencengkram jemariku yang serasa dingin
seketika.
“Ayo masuk dan istirahatlah, nanti malam kita diskusikan
ini” Kata Ayah.
Aku berpikir sesaat, dan menganggukkan kepalaku perlahan.
Aku mendengar suara ketukan pintu, ku buka perlahan mataku.
Mataku bertemu dengan senja yang senantiasa memberikan roma kesejukan, dan aku
tak berkedip. “Senja, akankah dia menerimaku?” Aku bertanya, seolah senja
mendengar celotehku.
Malam mulai larut, kemelut hati kian berkabut. Keseriusan
yang terlukis di raut wajah orang tua tak kunjung hilang, sedari tadi.
“Jadi tekadmu sudah
bulat nak?” Pertanyaan yang kesekian kalinya.
“Ya, aku yakin” Jawabku, tanpa sedikitpun keraguan.
Sejenak aku terhanyut oleh kata-kataku sendiri. Gemuruh
jantung begitu kencang kurasakan. Harapku, semoga Allah meridhai niatan suciku.
Denting jam begitu kencang di pendengaranku. Langit biru
telah berganti hitam. Senja telah berganti bulan dan bintang. Namun mata tak
kunjung terpejam. Ada rasa gundah dan gelisah yang menguasai raga.
“Ya Allah, tidurkanlah aku malam ini” Pintaku.
***
Keesokan harinya, jarum jam menunjuk angka sembilan lewat
lima belas menit. Rumahku terasa sunyi, sepi. Hanya suara tapak yang sedari
tadi kesana-kemari. Sejak tadi pagi, aku terus berdiskusi dengan hatiku. Dan
mengikuti alur detak jantungku yang tidak beraturan. Tak lama, semua siap. Aku
menatap lekat wajahku di cermin. Seakan masa depan ada di dalamnya. Bismillah,
aku dan kedua orang tuaku berangkat. Pergi kerumahmu, Hafsa.
Tak lama kakiku sudah tegak berdiri di depan sebuah rumah.
Disambut dengan hangat dan senyum harapan. Mataku segera berlari mencarimu,
tapi tak kutemukan. Cakap-cakap bersama orang tuamu tak membuatku tenang.
Pikiran kian tak karuan.
3 menit, 5 menit, 10 menit.
Tak ada. Aku terus memandangi benda yang melingkar di
pergelangan tangan kiriku. Kian gelisah, tapi tak apa.
Dan,
“Assalamu’alaikum”
Aku mendengar suara dari belakangku, ku putar perlahan
leherku. Mataku bertemu dengan sepasang mata lain, dan aku tak berkedip.
“Ini dia pemilik tatapan teduh yang sesungguhnya” Gumamku
dalam hati.
“Ayo sini duduk” Ajak Ayahmu.
Aku masih tak berkedip. Terhipnotis oleh pancaran matamu. Jantungku
kian bergemuruh riuh.
“Jadi gimana nak?”
Aku terhenyak mendengar suara ayahmu. Fokusku benar-benar
hilang. Kata yang ku tata mendadak hilang. Apa yang akan aku katakan? Sedang
semua terdiam menanti ucapku.
“Hey!”
Kali ini suara ayahku yang mengangetkan. Kutarik nafas
dalam-dalam. Setelah rangkaian kata terucap dari lisan ayahku, kini giliranku.
Kuutarakan maksud hati. Kunantikan jawaban pasti. Semua terdiam. Suara denting
jam tidak lebih cepat dari detak jantungku.
“Bismillah. Iya, aku mau” Katamu pelan.
Mataku terbelalak, aliran darah terhenti.
“Alhamdulillah” Sorak ramai membuatku tersadar kembali.
Ada kesejukan yang tiba-tiba mengalir. Ada cahaya yang
tiba-tiba menerangi. Dan ada keteduhan yang tiba-tiba memayungi. Tanpa
basa-basi lagi, hari pernikahanpun di tentukan. Setelah selesai semua
pembicaraan. Aku dan keluarga bergegas pulang. Dengan hati riang dan tenang.
***
Tiga bulan kemudian.
Kini dia bukan lagi sosok semu dalam duniaku. Dia adalah
sosok nyata dalam mimpiku. Sedikit lagi. Dia seolah selalu mensugesti ku untuk
selalu tersenyum, untuk selalu taat. Dia anggun, benar-benar menjaga. Aku
kagum, tak lama lagi dia akan menjadi istriku. Alhamdulillah, Allah memberiku
waktu untuk mencintaimu. Mencintaimu dengan cara yang sederhana.
Kakiku gemetar. Berkali-kali kutatap wajah ini di cermin, rona
gugup terpancar jelas disana. Gemuruh jantungku kian riuh, tanganku semakin
dingin kurasa. Rasa ini lebih dari kata aneh.
“Ya Allah berikanlah kemudahan dan kelancaran” Pintaku
berkali-kali.
Suara langkah kaki kian membuat hati tak karuan. Ada seseorang
yang mendekati kamarku yang kemudian membuka pintu.
“Ayo nak, semua sudah siap” Ibu berdiri di depan pintu. Terlihat
anggun dengan kebaya berwarna peach yang ia kenakan.
Kami pergi untuk kedua kalinya kerumahmu. Setelah tiga bulan
yang lalu. Sepanjang perjalanan pikiranku tak karuan. Entah perasaan aneh
apalagi ini. Berbeda dengan tiga bulan yang lalu. Perjalalanan kali ini terasa
sangat lama. Lama sekali.
“Itu dia pengantin laki-lakinya sudah datang” Aku mendengar
suara keributan itu. Entah bersumber dari siapa. Langkah kakiku terasa berat. Seperti
tak kuasa mengayunkan kaki. Ayah dan ibu mengapit kedua tanganku. Menuntunku menuju
altar pernikahan. Bergetar seluruh tubuhku. Berdegup kencang hatiku.
Suasana hening. Bibirku masih saja terkatup. Suara penghulu
yang memecah suasana kian membuatku gugup. Kata demi kata terlontar dari lisan
penghulu. Dengan cermat kufokuskan pikiran. Dengan khidmat ku amati
kata-katanya. Aku menjadi seseorang yang penuh kegembiraan, banyak alasan. Benar-benar
terasa mimpi, dan seketika hatiku menyadari bahwa semua ini memang benar-benar
nyata.
“Saya terima Nikah dan kawinnya Hafsa Hastari binti Hi.
Nursalim dengan mas kawin tersebut di bayar tunai” Suara riuh mendadak memenuhi
ruang tamumu.
“S-A-H...” Teriak orang-orang disekitarku. Rasanya ada yang
menghantam hatiku. Sehingga satu nama yang berada di dalamnya nyaris terjatuh. Mataku
perih, tak terasa air mata merambah jatuh. Bersujud aku, bersyukur kepada
Allah.
“Terimakasih Ya Allah atas kelancaran yang KAU berikan”
Aku bangkit dari sujudku. Memandang sekitar dengan senyum
terlukis indah di wajahku. Kuusap air mata yang terjatuh. Benar-benar lega. Antara
senang. Bahagia. Terkejut. Dan entah. Semua rasa bercampur membaur menjadi
satu. Dan aku lupa. Satu peristiwa belum kulewati. Hafsa, istriku. Belum menampakkan
wajahnya. Ahhh, hatiku kembali bergetar. Seperti apa rupanya?
Dag.. Dig.. Dug.. Jantungku kembali berdegup lagi. Aku menanti.
Tak lama, semua mata memandang ke arah belakangku. Perlahan ku putar leherku. Persis
seperti tiga bulan lalu. Namun berbeda. Pancaran cahaya wajahmu mengalahkan
sang kejora. Sorot mata meneduhkanmu mengalahkan senja. Aku tak berkedip. Aku merasa
heran. Aku hanya terdiam. Hatiku tak karuan. Bahagia luar biasa.
Kami duduk bersampingan. Mengucapkan do’a. Dan tiba saatnya
pemasangan cincin. Tanganku terasa dingin. Mencoba meraih tanganmu. Dengan wajah
malu kau ulurkan tanganmu, ragu. Tanganmu kaku, canggung. Aku hanya bisa
tersenyum, tersipu malu juga. Untuk pertama kalinya aku menyentuh punggung
tanganmu. Begitu lembut kurasakan. Tak banyak kata yang terlontar dari kami. Hanya
mata yang sesekali curi pandang. Malu-malu.
Hafsa, istriku. Izinkan aku mencintaimu dengan cara sederhana.
Sesederhana kata yang diucapkan angin pada daun yang membuatnya jatuh. Dan sesederhana
isyarat senja kepada malam yang menggantikannya dengan sang kejora.
Masih, selalu, dan akan terus kusimpan namamu di ruangan
terdalam hatiku. Sampai nanti, sampai kapanpun. Aku menyeruput secangkir kopi
di teras atas rumah kami. Dan seseorang memelukku dari belakang, aku
menatapnya. Mengecup keningnya. Lagi-lagi aku terhipnotis oleh sorot mata
teduhmu yang selalu bisa menenangkan hatiku. Terimakasih.
Malang, 07 September 2018