Jumat, 24 Agustus 2018


Wanita Munafik
By: Pipit Era Martina

 
Sering nggak sih denger kata- kata munafik? Khususnya buat wanita-wanita yang pakai hijab nih. Sering banget yah dapet kata-kata munafik, “munafik banget sih, pakai jilbab tapi masih aja ngomongin orang”, “pakai jilbab kok masih pacaran, apa bukan munafik namanya?”. Nah, tahu nggak sih munafik itu apa? Munafik itu sifat dimana dia berdusta, bisa dikatakan bermuka dua atau berlidah dua. Nah apakah dengan memakai jilbab kemudian menjadi punya muka dua? Dan kemudian  dapat dikatakan dengan munafik? Bukankah jilbab dengan tingkah laku atau akhlak merupakan dua hal yang berbeda? Jilbab itu sesuatu yang dikenakan, sedangkan akhlak itu adalah sesuatu yang kita lakukan. Apakah dengan kita menggunakan hijab kemudian berkata kasar pantas dikatakan dengan munafik?


Wanita berhijab bukan berarti dia sempurna, bukan berarti semua kata-katanya sudah baik, akhlaknya baik, terus nggak pernah ngomongin orang. Tidak!!! Wanita berhijab juga mannusia, tempatnya salah dan khilaf, bukankah kamupun demikian? Sama-sama manusia yang sering banget buat sala. Nggak ada manusia yang sempurna tanpa kesalahan, tapi ada manusia yang berusaha untuk tidak berbuat kesalahan. Nah, salah satunya itu kita, kita berusaha gimana caranya memperbaiki diri, tingkah laku dan lain sebagainya. Caranya dengan kita menutup aurat dengan benar, diikuti dengan menata tingkah laku menjadi lebih baik lagi. Jadi bukan berarti kita munafik, katakanlah kita yang memakai hiijab ini tingkah lakunya lebih buruk dari kalian, oke. No problem, klo kalian berkata demikian, tapi bukan berarti kalian bisa melayangkan kata-kata munafik tanpa dasar bukan? Akhlak itu dapat diperbaiki seiring berjalannya waktu, perlahan namun pasti, kain penutup kepala ini dapat membimbing kita menjadi lebih baik, lebih pandai menata kata, dan yang pasti lebih menjaga ucapan dari kata-kata yang mampu melukai sesama. Semua butuh proses, toh kalian juga punya proses bukan? Sama, kita juga punya proses, hanya saja proses kita dan kalian terlihat berbeda meskipun pada dasarnya sama, sama-sama menuju proses yang lebih baik dan lebih baik lagi.

Satu hal yang kita tahu, jilbab itu satu hal yang wajib bagi wanita muslimah, tidak ada satu alasanpun yang diterima Allah untuk tidak mengenakan hijab. Wanita yang tahu akan kewajibannya sebagai wanita untuk menutup aurat, percaya deh, perlahan-lahan munafik yang kalian katakan itu akan hilang di telan jilbab. Bukan berarti yang memakai jilbab lebih baik dan amalnya lebih besar, tidak!! Tapi satu hal, wanita berhijab satu langkah lebih menyadari akan pentingnya kecantikan yang hakiki. Wanita berhijab itu sudah pasti perlahan-lahan akan menjadi lebih baik karena dia malu dengan hijab yang dia kenakan, sungkan jika terus berperilaku tidak baik dibawah pengawasan hijab yang selalu dikenakan. Intinya, wanita yang baik dia pasti tahu mana yang lebih utama dan paling utama untuk dilakukan sebagai wanita muslimah. Kalau kalian wanita muslimah, stop bilang munafik, percuma ataupun kata-kata serupa lainnya. Sibukkanlah diri untuk introspeksi diri, sudahkah kita lebih baik dari mereka, sudahkah kita menuhin maunya Allah, sudahkah kita menghargai diri kita sebagai wanita? Kalau belum, mending kita sama-sama menuntun buat jadi wanita yang lebih baik tanpa mengomentari orang lain, tanpa harus melukai orang lain. Allah itu menilai kita sesuai dengan apa yang kita lakukan, semuanya tanggung jawab kita, jadi daripada sibuk ngurusin orang lain yang belum tentu ita lebih baik dari mereka, lebih baik kita urusin diri sendiri untuk dapet nilai yang memuaskan dari Allah.

Penulis menulis ini bukan berarti penulis adalah orang yang sudah baik, dan lebih baik dari pembaca, tidak. Penulis mencoba mengingatkan diri sendiri untuk menjadi lebih baik dan ingin mengajak pembaca untuk belajar bersama menjadi manusia yang lebih baik dari hari kemarin. Penulis percaya, kita masih dikasih banya kesempatan sama Allah untuk merubah diri menjadi wanita shalihah dengann akhlak yang baik pula. Yuk, bareng-bareng ngelangkah lebih baik lagi dan saling menasehati bukan menghakimi.

Salam wanita berproses, Malang 25 Agustus 20118

Minggu, 19 Agustus 2018


Ketika Bumi Menafsirkan Cinta
By: Pipit Era Martina

C-I-N-T-A, satu kata berjuta kisah. Ketika satu kata merubah segala rasa, bahkan mampu merubah warna dunia. Mampu menerbitkan mentari dalam hati dan menyinari rasa dengan jutaan cahaya, merobek awan dan meruntukan buih-buih hujan menjadikan dedaun turut berbisik akan indahnya dunia yang bersemi bersama cinta. Ketika bumi menafsirkan cinta, manusia tiada kuasa menolak, bahkan jemaripun tak kuasa melambai. Mata yang terkatup seolah terhunus benderangnya matahari, hingga terbelalak tak terkatup lagi. Lamban gerak menjadi ringan dan beralaskan senyuman, mewarnai gerak yang terarah dan cerah.


Ketika bumi menafsirkan cinta, semerbak bunga menjulang tinggi ke udara, mengabarkan pada angin bahwa cinta menyekap dunia. Kicauan burung terdengar ramai tak berkesudahan ketika dedaun turut tertawa bersama angin, dan mataharipun tak terasa panas disaat awan bercerita tentang cinta. Cinta yang menjadi perbincangan, nyatanya sempurna menyandra jiwa, mengekang rasa sedemikian rupa, hingga lupa pada luka yang bersemayam nyaman dalam benak. Mengusap airmata dengan lembutnya dan menggantikannya dengan senyuman indah bermahkotakan mutiara. Membungkus rapi kesepian yang kemudian melemparkan kebahagiaan berlumur cinta tiada tara.

Ketika bumi menafsirkan cinta, tak ada lagi kegelapan dalam jiwa, bintang yang semula enggan berhadapan, kini siaga dalam penerangan. Bahkan, bulan yang seringkali sembunyikan cahaya kini selalu hadir bersama cahaya tanpa gelap. Menerangi dan menemani tiap langkah kecil menuju tapak kebahagiaan beratasnamakan cinta. Betapa indah terasa, seakan gelap tak sudi lagi menghampiri dan sepi enggan lagi singgah dalam diri. Hujan yang acapkali menghantam daun dengan kerasnya, seolah berubah menjadi belaian lembut yang menyejukkan. Tangis yang terdengar disaat hujan berdatangan seketika berubah menjadi tawa bahagia beraromakan semerbak dahlia.

Ketika bumi menafsirkan cinta, katapun tak lagi berserakan tanpa makna. Rasa yang tertata menjadi rapi dalam ruang hati, tersusun penuh cinta. Mata yang bercucur benih kepedihan kini menjelma menjadi buih kasmaran, bahagia yang tak sanggup tertuang dalam kata. Jemari yang lemah tak berdaya menjadi bertenaga, bergerak dengan indahnya mengayunkan cinta ke udara. Bibir yang semula tak kuasa berkata, seolah terbuka lebar hingaa ribuan kata terucap dengan indahnya. Disaat diri menyadari, jenuh yang dirasa seketika hilang bak ditelan bumi, mungkinkah bumi menghanguskan jenuh ataukah melenyapkan tanpa jejak?. Entahlah, awanpun tak mampu memberi penjelasan, kenapa dunia seakan berubah sedemikian cantiknya, menjadikan semua penuh warna tanpa cela. Tak ada satu orangpun yang berkata bahwa ini drama, akankah realita seindah ini?

Ketika bumi menafsirkan cinta, bayang ketakutan berubah menjadi lukisan indah bercorak ketentraman. Merobek gagap yang hinggap, menjelmakan lelah menjadi indah berbunga. Kesedihan yang acapkali hinggap, seolah terhempas jauh dari pikiran, yang hanya terisi tentang kebahagiaan tak berkesudahan. Mewarnai diri dengan cinta, menunjukkan tatap dengan indahnya corak pelangi, mengayunkan langkah pada gagahnya bumi berpijak. Mengakibatkan gunung sejenak iri akan kuatnya tapak beralaskan cinta. Bahkan lautpun cemburu pada lembutnya belaian awan ketika diri bermandikan cinta. Berbeda dengan rumput yang justru turut mengabarkan pada angin bahwa pedih yang terpenjara selama ini telah sirna termakan cinta. Tak jauh berbeda dengan kepakan sayap kupu-kupu yang tak pernah bosan menceritakan pada udara bahwa luka telah terkalahkan oleh cinta bermahkotakan mutiara.

Ketika bumi menafsirkan cinta, bumi ‘kan menguraikan lembaran demi lembaran kisah cinta tak berkesudahan. Melantunkan kasih dengan rintihan hujan yang menyejukkan, diiringi pelangi yang menghiasi serta sorakan dedaun yang menyuarakan rasa bahagia terhadap cinta. Namun ketika manusia menafsirkannya, sejenak hati tercekik, kata seolah terpekik hingga pikiran menghentikan alurnya. Mengembang jauh ke angkasa namun tak tertafsir dalam kata, berbunga indah di dalam jiwa namun tak kuasa melukisnya dalam untaian bait. Bahkan senyum yang terkembang menggambarkan cinta yang tak tertuang, terekam apik namun tak terungkap, meluap sempurna bersama mekarnya bunga tapi hanya bersemi dalam jiwa, tidak dengan kata. Ketika manusia menafsirkannya, mereka kan berkata ‘aku bukanlah pujangga cinta yang pandai menafsirkan, melainkan hanyalah korban dari cinta itu sendiri dan tidak memahami cinta yang sebenarnya’.

Bumi berbalut cinta, Malang 20 Agustus 2018

Not to Judge Person From The Fashion
By: Pipit Era Martina

Disaat bintang membagi cahaya pada bumi, pernahkah bulan melarang? Disaat Matahari menggantikan bulan di malam hari, adakah bulan menolak? Dan disaat awan menurunkan hujan, pernahkan matahari mengelak? Tidak pernah bukan? kenapa? Yaa karena mereka miliki porosnya masing-masing. Mereka punya tempatnya masing-masing dan merekapun punya hak kapan mereka terbit dan tenggelam. Begitupun manusia, bukankah kita sama dengan bulan dan bintang? Sama-sama makhluk ciptaan Allah SWT, bahkan manusia lebih mulia dibanding seluruh ciptaan Allah, lebih sempurna. Lantas kenapaa? Justru makhluk yang paling sempurna yang banyak berkata tanpa berkaca?


Sering banget kita lihat, kita dengar, sesama manusia saling berkata, baik itu dalam kebaikan atau keburukan. Pernah nggak sihh kita merenungkan diri, menyadari kalau apa yang kita ucapkan itu ternyata lebih buruk dari diri kita sendiri? Dengan mudahnya kita berkomentar, “ahh dia mah nggak berjilbab, pasti kelakuannya nggak baik. Pasti begini, pasti begitu”. Heyyy, sadar diri dong! Kita ini siapa? Daripada berkomentar begini begitu mending kita pulang terus ngaca dirumah, udah sempurna belum iman kita? Jilbab yang dipakai sudah sesuai belum sama ajaran Allah?. Kalau belum lebih baik diam dan benahi diri.

Kita bukan designer yang punya hak buat ngomentarin fashion orang, designer aja nggak mau sembarang berkomentar meskipun dia tahu fashion yang digunakan orang lain itu tidak pantas. Kita sebagai sesama muslim, tugasnya itu mengingatkan, mengajak, bukan berkomentar. Kalau tugas kita berkomentar, orang lain nggak akan ada berhentinya ngomentarin kita, kenapaa? Ya karena kita itu kurangnya banyak banget. Kenali diri, malu sama jilbab yang tiap hari dipakai kalau kita masih sering komentarin hidup orang lain. Orang yang tidak atau belum berhijab bukan berarti mereka lebih buruk dari kita yang sudah berhijab. Begitu pula sebaliknya, kita yang sudah berjilbab belum tentu amalnya lebih banyak dibanding mereka. Jilbab memang wajib, tetapi, tidak semua orang cepat menyadari betapa berharganya rambut mereka, dan kecantikan mereka. Akan tetapi, Allah punya rencana tersendiri terhadap kita semua, banyak orang yang sudah berhijab lantas dibuka, tapi ada juga yang tadinya berpakaian terbuka menjadi shalihah. So, buat apa sibuk komentarin fashion orang lain?

Percaya deh, ketika kita sering komentarin hidup orang, fashion orang, maka kita akan lebih banyak lagi dikomentarin sama orang lain. Karena pepatah itu jarang salahnya, apa yang kita tanam ya itu yang akan kita tuai. Seorang anak yang sering melihat orang tuanya bertengkar, jelas si anak bakalan sering bertengkar juga, kenapaa? Karena mereka enirukan apa yang sering mereka lihat. Dan kalau si anak sering lihat orang tuanya shalat berjama’ah, ngaji bareng, yakin deh, anak kecil tanpa disuruh bakalan ngikutin orang tuanya shalat. Nahh artinya apa? Artinya, kita nggak perlu banyak berkomentar dan berkata ini itu, cukup kita lakukan dengan baik, maka hasilnyapun akan baik. Kalau kita mau teman kita pakai jilbab, ya kita harus pakai jilbab dulu. Intinya, semua itu bermula dari diri sendiri, kalau kita baik insyaAllah didekatkan dengan orang baik, tapi kalau kita demennya komentarin hidup orang, yaa alamat kita bakalan sering dapat komentar dari orang lain juga.

But, remember it! Hidayah itu tidak datang dengan sendirinya, hidayah itu maunya di jemput, bukan datang tak di undang. Kalau kamu mau didatengin sama hidayah, ya kasih dulu undangannya terus dijemput. Bukan Cuma di kasih undangan terus kamunya diem nungguin tanpa gerak. Hidayah itu jangan disamain dengan tamu undangan, yang cukup kita kasih kertas undangan terus dia dateng sendiri, tidak! Hidayah itu seperti harta karun yang harus kita jemput, harus di cari sampai ke lubang-lubang, nyarinya pun nggak sembarang nyari. Sama halnya dengan harta karun, yang perlu persiapan dan pakai peta, bukan cuma modal kata.  
Nah, mulai dari sekarang, yuk kita bareng-bareng belajar untuk tidak berkomentar tidak baik tentang orang lain. Lebih baik, kita perbaiki diri, benahi fashion sendiri, tata hati dan pikiran sebelum berkata, itu jauh lebih baik dibanding berkomentar terhadap kehidupan orang lain. Berkacalah sebelum berkata dan berpikirlah sebelum bertindak, karena setiap kata dan tindak selalu ada balasannya. Salam shalihah, semoga Allah mengizinkan kita berjumpa dan bercakap banyak kata di surga-NYA. Aamiin.

Goresan kata hati, Malang, 19 Agustus 2018

Senin, 13 Agustus 2018

Kudapati Mentari di Kediri
By : Pipit Era Martina

Lembutnya hujan yang membelai dedaunan, nyatanya tak pula sampai pada hati yang berserakan akan rasa yang berkerumun mencekik akal. Teriknya mataharipun tak mampu melelehkan pola cerita luka yang kubawa, akankah bersemi hingga pagi tak lagi bernyanyi? Kupu-kupu yang mengepakkan sayap dengan bebasnya membuatku cemburu, dengan cantiknya menghampiri bunga mekar di bawah rindang kesejukan. Tatap cantik langit kian membuat hati meratap, menatap jauh tak beratap, akankah berujung taat pada satu yang terikat?

Yahhh, semua semu berselimut kelabu tak menentu, membuat langkah kian meragu akan terangnya mentari. Bagai pelangi terbit ditengah terik, kemustahilan mencumbu pikiran dengan nikmatnya.  Membayang menari diatas altar kebahagiaan seolah hanya khayalan tanpa pembuktian, berjuta tanya memenuhi ruang jiwa, akankah mentari hadir dalam hati untuk saat ini?

Dan seketika Allah merubah semua jalur pemikiran, menarik hati, meluncurkan simpati pada diri sendiri, mencoba tunjukkan bahwa dunia memihak. Menciptakan mentari ditengah kebisingan hati, meletakkan mutiara pada jiwa yang sempat terluka, terbawa arus tak bernyawa. Tak terkira, kemustahilan itu terpampang nyata didepan mata, keinginan yang seolah tak mungkin, terwujud apik disini, Kediri. Banyak cerita hanya untuk singgah di kota yang jauh dari tatapan mata, melampaui tapak airmata, menjelajah jejak tawa hingga pada akhirnya kaki berpijak disini, Kediri.


Mentari yang bersinar ketika hujan membasahi menjadikan luka seketika tertutup, membuang rasa kecewa, memberikan kebebasan pada dunia untuk mengantarku pada bahagia yang nyata. Mengajarkan ilmu bahwa mentari pasti kan terbit, tanpa diminta, disaat kita berada pada titik putus asa atau pada saat bahagia menguasai raga. Percaya akan satu hal, embun yang senantiasa menyejukkan tak kan pernah melukai daun, begitupun dunia yang mempesona takkan membiarkan penghuni terluka karenanya. Meski seringkali hujan merusak pepohonan, namun bumi tak pernah menyerah untuk membuatnya kembali berdiri dengan pernak pernik cintanya. Dan sesering apapun kita mengeluh, mentari tak pernah luput dari kehadirannya, merubah luka menjadi tawa dan merubah airmata duka dengan cinta yang tak biasa.

Tapak singkat yang menjejak di Kediri, berhasil ciptakan generasi baru dalam diri, membungkus apik goresan hati yang tersakiti dan merubah hati kembali suci. Kudapati titik mentari di Kediri, bersahut cahaya di tiap senja, menyemarakkan cinta di tiap harinya dan menebarkan kasih di sejarah waktunya. Kini, rembulan bukan hanya sebagai penerang jejak akan tetapi menjadi pencahaya di tiap sudut ruang. Kemerlip bintang menjadi saksi, kediri ialah kota yang menjadikan hati kembali tersinari, menetapkan diri pada cinta Illahi yang haqiqi. Dan matahari sampaikan senyum bahagia, ketika jemari tak lagi berdusta menyuarakan Asma-NYA di tiap detik yang terlewat. Hingga malampun memeluk dengan hangat, seakan menyemarakkan cinta yang terbalut indah bersama takdir cerita Hijrah.

Kota terkenang, Kediri...⧪⧪⧪⧪৻⧪

Minggu, 12 Agustus 2018


Ada Cahaya di Asrama
By : Pipit Era Martina

Senyuman mawar yang indah tak kan mungkin dapat terlukis dalam rangkaian kata maupun sulaman sketsa. Yahhh, seperti itulah rasa yang kami dapati selama di asrama, asrama yang menyisakan ribuan cerita, ratusan airmata namun berlimpah tawa yang tak dapat terukir dan tak pula dapat terulang. 


KARIN, satu kata yang menyimpan puluhan rahasia, cahaya dan juga cinta. Tak pernah terbersit dalam angan, kami kan temui cahaya yang selama ini menerawang jauh dalam pandangan, meraba rasa yang ternyata terkupas dalam asrama. Berbeda budaya dan bahasa bukanlah halangan untuk kami saling berbagi rasa, nyatanya perbedaanlah yang menyatukan cinta kami menjadi indah, penuh warna berhias tawa.

Riuh renyah canda tawa berhasil melepas lelah yang menggantung di pundak, seolah meruntuhkan masalah yang tak kunjung usai. Kebersamaan yang singkat bukan berarti kesan tak tersirat, faktanya kisah kami terus melekat dalam ingat dan terbuai indah dalam benak. Ahh, ingin rasanya kembali  pada pelukan yang selalu menghangatkan juga tawa yang selalu menentramkan.

Ada cahaya yang tak biasa dalam asrama, cahaya yang lahir dari indahnya senyuman bahagia ketika bersama. Kami bersama karena berbeda, langkah dan tujuan yang serupa menjadikan hati kami bersahut, genggaman erat melangkah bersama mencoba menggali ambisi yang belum jua usai terealisasi. Karakter yang beraneka rupa menjadikan kami tahu bahwa dunia bukanlah hanya untuk bertandang hidup, melainkan meraih genggaman dari ribuan rasa dan rupa yang berbeda. Tak ayal, kami menjadi satu di berbagai situasi dan menciptakan kerinduan yang tak terhingga hingga melahirkan air mata ketika jabat memaksa kami terpisah karena jarak.

Sesaat termenung kala mengingat kata ‘karin’, mungkin hingga saat ini tempat yang dulu kami jadikan persinggahan ternyaman menjadi wadah cinta yang baru bagi generasi baru. Bercurah rasa menjadi bumbu percakapan di setiap detiknya, berbagi airmata pun menjadi santapan kami. Peluh yang hadir bukanlah menjadi beban berat, akan tetapi menjadi pengobat lelah dikala kami harus terus berjuang demi masa depan.

Ya, cahaya itu tampak nyata terpancar dari asrama. Cahaya yang menentramkan jiwa, cahaya yang menarik hati untuk selalu di kunjungi. Dengan cahaya itulah kami senantiasa bersua dengan gembira dan bercumbu dengan tawa tanpa beban. Bahkan diksikupun serasa habis termakan angan yang selalu menerkam tak kunjung menghilang. Akankah bahagia dapat menyatukan kami lagi disituasi yang kami ingini di suatu hari nanti?

Selalu bersemoga, raga yang terpisah tak menjadikan hati terpecah bahkan terbelah. Semoga angin senantiasa setia mengirimkan rindu pada masing-masing jiwa yang selama ini menautkan cinta tak bertepi. Semoga kisah kasih yang pernah tertoreh takkan pernah usai meski langkah gerak tak lagi beriringan, senyuman yang tak lagi nampak didepan tatap tetaplah menjadi torehan rasa ternyaman dalam angan. Dann cinta yang tertuang semoga takkan pernah hilang termakan waktu, tetaplah bermuara dalam jiwa hingga pada akhirnya cinta tak lagi bernyawa.

Karin, satu kata yang takkan pernah terlupa, menggores indah dalam sejarah cinta, terukir sempurna dalam ingatan penghuninya, dan menuangkan buih-buih cinta yang bermuara pada kasih tak berujung. Bagai rembulan yang memberikan cahaya pada bumi kegelapan, bagai embun yang memberikan kesejukan pada tapak yang gersang, bagai matahari yang senantiasa menyinari hari tanpa jera dan bagai angin yang tak pernah lelah mengukir rindu pada ruang kesenyapan, begitulah rasa cinta yang tertuang di karin, tak kan pernah jera pun sirna.

Malang, 12 Agustus 2018