Ketika Bumi Menafsirkan Cinta
By: Pipit Era Martina
C-I-N-T-A, satu kata berjuta kisah. Ketika satu kata merubah
segala rasa, bahkan mampu merubah warna dunia. Mampu menerbitkan mentari dalam
hati dan menyinari rasa dengan jutaan cahaya, merobek awan dan meruntukan
buih-buih hujan menjadikan dedaun turut berbisik akan indahnya dunia yang
bersemi bersama cinta. Ketika bumi menafsirkan cinta, manusia tiada kuasa
menolak, bahkan jemaripun tak kuasa melambai. Mata yang terkatup seolah
terhunus benderangnya matahari, hingga terbelalak tak terkatup lagi. Lamban
gerak menjadi ringan dan beralaskan senyuman, mewarnai gerak yang terarah dan
cerah.
Ketika bumi menafsirkan cinta, semerbak bunga menjulang
tinggi ke udara, mengabarkan pada angin bahwa cinta menyekap dunia. Kicauan
burung terdengar ramai tak berkesudahan ketika dedaun turut tertawa bersama
angin, dan mataharipun tak terasa panas disaat awan bercerita tentang cinta.
Cinta yang menjadi perbincangan, nyatanya sempurna menyandra jiwa, mengekang
rasa sedemikian rupa, hingga lupa pada luka yang bersemayam nyaman dalam benak.
Mengusap airmata dengan lembutnya dan menggantikannya dengan senyuman indah
bermahkotakan mutiara. Membungkus rapi kesepian yang kemudian melemparkan
kebahagiaan berlumur cinta tiada tara.
Ketika bumi menafsirkan cinta, tak ada lagi kegelapan dalam
jiwa, bintang yang semula enggan berhadapan, kini siaga dalam penerangan.
Bahkan, bulan yang seringkali sembunyikan cahaya kini selalu hadir bersama
cahaya tanpa gelap. Menerangi dan menemani tiap langkah kecil menuju tapak
kebahagiaan beratasnamakan cinta. Betapa indah terasa, seakan gelap tak sudi
lagi menghampiri dan sepi enggan lagi singgah dalam diri. Hujan yang acapkali
menghantam daun dengan kerasnya, seolah berubah menjadi belaian lembut yang
menyejukkan. Tangis yang terdengar disaat hujan berdatangan seketika berubah menjadi
tawa bahagia beraromakan semerbak dahlia.
Ketika bumi menafsirkan cinta, katapun tak lagi berserakan
tanpa makna. Rasa yang tertata menjadi rapi dalam ruang hati, tersusun penuh
cinta. Mata yang bercucur benih kepedihan kini menjelma menjadi buih kasmaran,
bahagia yang tak sanggup tertuang dalam kata. Jemari yang lemah tak berdaya
menjadi bertenaga, bergerak dengan indahnya mengayunkan cinta ke udara. Bibir
yang semula tak kuasa berkata, seolah terbuka lebar hingaa ribuan kata terucap
dengan indahnya. Disaat diri menyadari, jenuh yang dirasa seketika hilang bak
ditelan bumi, mungkinkah bumi menghanguskan jenuh ataukah melenyapkan tanpa
jejak?. Entahlah, awanpun tak mampu memberi penjelasan, kenapa dunia seakan
berubah sedemikian cantiknya, menjadikan semua penuh warna tanpa cela. Tak ada
satu orangpun yang berkata bahwa ini drama, akankah realita seindah ini?
Ketika bumi menafsirkan cinta, bayang ketakutan berubah menjadi
lukisan indah bercorak ketentraman. Merobek gagap yang hinggap, menjelmakan
lelah menjadi indah berbunga. Kesedihan yang acapkali hinggap, seolah terhempas
jauh dari pikiran, yang hanya terisi tentang kebahagiaan tak berkesudahan.
Mewarnai diri dengan cinta, menunjukkan tatap dengan indahnya corak pelangi,
mengayunkan langkah pada gagahnya bumi berpijak. Mengakibatkan gunung sejenak
iri akan kuatnya tapak beralaskan cinta. Bahkan lautpun cemburu pada lembutnya
belaian awan ketika diri bermandikan cinta. Berbeda dengan rumput yang justru
turut mengabarkan pada angin bahwa pedih yang terpenjara selama ini telah sirna
termakan cinta. Tak jauh berbeda dengan kepakan sayap kupu-kupu yang tak pernah
bosan menceritakan pada udara bahwa luka telah terkalahkan oleh cinta
bermahkotakan mutiara.
Ketika bumi menafsirkan cinta, bumi ‘kan menguraikan
lembaran demi lembaran kisah cinta tak berkesudahan. Melantunkan kasih dengan
rintihan hujan yang menyejukkan, diiringi pelangi yang menghiasi serta sorakan
dedaun yang menyuarakan rasa bahagia terhadap cinta. Namun ketika manusia
menafsirkannya, sejenak hati tercekik, kata seolah terpekik hingga pikiran
menghentikan alurnya. Mengembang jauh ke angkasa namun tak tertafsir dalam
kata, berbunga indah di dalam jiwa namun tak kuasa melukisnya dalam untaian bait.
Bahkan senyum yang terkembang menggambarkan cinta yang tak tertuang, terekam
apik namun tak terungkap, meluap sempurna bersama mekarnya bunga tapi hanya bersemi
dalam jiwa, tidak dengan kata. Ketika manusia menafsirkannya, mereka kan
berkata ‘aku bukanlah pujangga cinta yang pandai menafsirkan, melainkan hanyalah
korban dari cinta itu sendiri dan tidak memahami cinta yang sebenarnya’.
Bumi berbalut cinta, Malang 20 Agustus 2018
1 komentar:
Pujangga cinta
Posting Komentar