Minggu, 19 Agustus 2018


Ketika Bumi Menafsirkan Cinta
By: Pipit Era Martina

C-I-N-T-A, satu kata berjuta kisah. Ketika satu kata merubah segala rasa, bahkan mampu merubah warna dunia. Mampu menerbitkan mentari dalam hati dan menyinari rasa dengan jutaan cahaya, merobek awan dan meruntukan buih-buih hujan menjadikan dedaun turut berbisik akan indahnya dunia yang bersemi bersama cinta. Ketika bumi menafsirkan cinta, manusia tiada kuasa menolak, bahkan jemaripun tak kuasa melambai. Mata yang terkatup seolah terhunus benderangnya matahari, hingga terbelalak tak terkatup lagi. Lamban gerak menjadi ringan dan beralaskan senyuman, mewarnai gerak yang terarah dan cerah.


Ketika bumi menafsirkan cinta, semerbak bunga menjulang tinggi ke udara, mengabarkan pada angin bahwa cinta menyekap dunia. Kicauan burung terdengar ramai tak berkesudahan ketika dedaun turut tertawa bersama angin, dan mataharipun tak terasa panas disaat awan bercerita tentang cinta. Cinta yang menjadi perbincangan, nyatanya sempurna menyandra jiwa, mengekang rasa sedemikian rupa, hingga lupa pada luka yang bersemayam nyaman dalam benak. Mengusap airmata dengan lembutnya dan menggantikannya dengan senyuman indah bermahkotakan mutiara. Membungkus rapi kesepian yang kemudian melemparkan kebahagiaan berlumur cinta tiada tara.

Ketika bumi menafsirkan cinta, tak ada lagi kegelapan dalam jiwa, bintang yang semula enggan berhadapan, kini siaga dalam penerangan. Bahkan, bulan yang seringkali sembunyikan cahaya kini selalu hadir bersama cahaya tanpa gelap. Menerangi dan menemani tiap langkah kecil menuju tapak kebahagiaan beratasnamakan cinta. Betapa indah terasa, seakan gelap tak sudi lagi menghampiri dan sepi enggan lagi singgah dalam diri. Hujan yang acapkali menghantam daun dengan kerasnya, seolah berubah menjadi belaian lembut yang menyejukkan. Tangis yang terdengar disaat hujan berdatangan seketika berubah menjadi tawa bahagia beraromakan semerbak dahlia.

Ketika bumi menafsirkan cinta, katapun tak lagi berserakan tanpa makna. Rasa yang tertata menjadi rapi dalam ruang hati, tersusun penuh cinta. Mata yang bercucur benih kepedihan kini menjelma menjadi buih kasmaran, bahagia yang tak sanggup tertuang dalam kata. Jemari yang lemah tak berdaya menjadi bertenaga, bergerak dengan indahnya mengayunkan cinta ke udara. Bibir yang semula tak kuasa berkata, seolah terbuka lebar hingaa ribuan kata terucap dengan indahnya. Disaat diri menyadari, jenuh yang dirasa seketika hilang bak ditelan bumi, mungkinkah bumi menghanguskan jenuh ataukah melenyapkan tanpa jejak?. Entahlah, awanpun tak mampu memberi penjelasan, kenapa dunia seakan berubah sedemikian cantiknya, menjadikan semua penuh warna tanpa cela. Tak ada satu orangpun yang berkata bahwa ini drama, akankah realita seindah ini?

Ketika bumi menafsirkan cinta, bayang ketakutan berubah menjadi lukisan indah bercorak ketentraman. Merobek gagap yang hinggap, menjelmakan lelah menjadi indah berbunga. Kesedihan yang acapkali hinggap, seolah terhempas jauh dari pikiran, yang hanya terisi tentang kebahagiaan tak berkesudahan. Mewarnai diri dengan cinta, menunjukkan tatap dengan indahnya corak pelangi, mengayunkan langkah pada gagahnya bumi berpijak. Mengakibatkan gunung sejenak iri akan kuatnya tapak beralaskan cinta. Bahkan lautpun cemburu pada lembutnya belaian awan ketika diri bermandikan cinta. Berbeda dengan rumput yang justru turut mengabarkan pada angin bahwa pedih yang terpenjara selama ini telah sirna termakan cinta. Tak jauh berbeda dengan kepakan sayap kupu-kupu yang tak pernah bosan menceritakan pada udara bahwa luka telah terkalahkan oleh cinta bermahkotakan mutiara.

Ketika bumi menafsirkan cinta, bumi ‘kan menguraikan lembaran demi lembaran kisah cinta tak berkesudahan. Melantunkan kasih dengan rintihan hujan yang menyejukkan, diiringi pelangi yang menghiasi serta sorakan dedaun yang menyuarakan rasa bahagia terhadap cinta. Namun ketika manusia menafsirkannya, sejenak hati tercekik, kata seolah terpekik hingga pikiran menghentikan alurnya. Mengembang jauh ke angkasa namun tak tertafsir dalam kata, berbunga indah di dalam jiwa namun tak kuasa melukisnya dalam untaian bait. Bahkan senyum yang terkembang menggambarkan cinta yang tak tertuang, terekam apik namun tak terungkap, meluap sempurna bersama mekarnya bunga tapi hanya bersemi dalam jiwa, tidak dengan kata. Ketika manusia menafsirkannya, mereka kan berkata ‘aku bukanlah pujangga cinta yang pandai menafsirkan, melainkan hanyalah korban dari cinta itu sendiri dan tidak memahami cinta yang sebenarnya’.

Bumi berbalut cinta, Malang 20 Agustus 2018

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Pujangga cinta