Kamis, 06 September 2018


Izinkan Aku Mencintaimu Dengan Sederhana
By: Pipit Era Martina

Langit biru berhias cahaya mewah dari sang senja. Siapapun akan termanjakan oleh pancarannya yang kian memikat hati, menentramkan jiwa. Terlalu indah jika hanya kuhabiskan tatapan senja sendiri, disini. Aku melangkah keluar meninggalkan kamar dan mendekati senja. Aku duduk di teras sembari memandang indah ciptaan Allah yang begitu menyejukkan hati. Pikiran menerawang jauh, teringat seseorang yang merubahku menjadi lelaki yang cerdik. Yang seringkali membuat tersenyum akan kelembutan kata-katanya. Dan tak jarang membius batin. Dari sebuah kisah sekolah, aku mengenalnya. Rasa aneh ini muncul sejak tiga tahun yang lalu. Pada sosok anggun yang membuatku terpana akan pesonanya.

Ponselku bergetar, tanda satu pesan masuk. Aku tersenyum ketika melihat nama yang terpampang di layar handphone. Iya, itu dia. Wanita yang baru saja menari dipikiranku.

“33 kiat shalat yang sempurna dan diterima” Begitulah isi pesannya.

Itulah dia yang seringkali mengirimiku pesan tentang segala pengetahuan Islam. Biasanya, itu adalah awal dari percakapan kami, dan tentu aku akan membalasnya dengan secepat kilat. Setelah membaca apa isi dari pesannya, tak jarang aku melemparkan pertanyaan atau hanya sekedar sapa agar percakapan kami berlanjut. Tujuh tahun aku mengenalnya, membuatku merasa benar-benar mengenal dirinya. 
Bermula dari kelulusan sekolah dan kisah hijrahnya. Itulah yang mengantarkanku menuju rasa aneh itu. Aneh, tentu saja aneh. Aku mencintai sosok yang sudah hampir empat tahun tak pernah terlihat oleh sepasang mataku ini. Karena aku mencintai sosok yang tak pernah kudengar suaranya oleh sepasang telingaku ini. Entah seperti apa raut wajah dan suaranya saat ini. Tapi hatiku peka.

Kukemasi beberapa pakaianku ke dalam ransel kecil. Aku akan pulang. Dan tak lama lagi rasa penasaranku pada sosok yang selama ini menghantui bathinku akan terjawab. Ya, aku akan pulang kerumah dan menemuinya, dirumahnya. Dia yang selama ini banyak membantuku. Membantuku melepaskan masa kelam. Aku melihat bayangku di kaca dan bersiap pergi dengan penuh keyakinan hati. Aku mencium tanganku sendiri sembari berharap dalam hati. Semoga niatku terbalas dengan sempurna. Aku melangkah menuju sepeda motorku, meninggalkan kosanku perlahan, hingga tak terlihat.


Setelah 5 jam perjalanan, sampailah aku di tanah kelahiranku. Beberapa menit lagi aku akan sampai dirumah kedua orang tuaku. Orang tua yang sudah menungguku dirumah. 10 menit, 15 menit, 45 menit. Aku sampai tepat di depan rumah. Disambut senyum dan pelukan hangat, aku merasa begitu bahagia.

“Alhamdulillah sudah sampai”

Ku dengar suara ibu yang menggema, menggembirakan. Kugenggam erat pundaknya, dan kutatap kedua bola matanya. “Ohh, betapa teduhnya tatapan mama” Aku bergumam dalam hati.

“Aku bahagia sekaligus takut bu”

Suaraku yang terdengar sedikit gemetar, menggelegar hingga ke telinga Ayah. Aku terhanyut dengan perasaan aneh ini.

“Tak apa, semua akan berjalan dengan baik” Sahut ayah, sembari mencengkram jemariku yang serasa dingin seketika.

“Ayo masuk dan istirahatlah, nanti malam kita diskusikan ini” Kata Ayah.

Aku berpikir sesaat, dan menganggukkan kepalaku perlahan.
Aku mendengar suara ketukan pintu, ku buka perlahan mataku. Mataku bertemu dengan senja yang senantiasa memberikan roma kesejukan, dan aku tak berkedip. “Senja, akankah dia menerimaku?” Aku bertanya, seolah senja mendengar celotehku.

Malam mulai larut, kemelut hati kian berkabut. Keseriusan yang terlukis di raut wajah orang tua tak kunjung hilang, sedari tadi.

“Jadi tekadmu sudah bulat nak?” Pertanyaan yang kesekian kalinya.

“Ya, aku yakin” Jawabku, tanpa sedikitpun keraguan.

Sejenak aku terhanyut oleh kata-kataku sendiri. Gemuruh jantung begitu kencang kurasakan. Harapku, semoga Allah meridhai niatan suciku.

Denting jam begitu kencang di pendengaranku. Langit biru telah berganti hitam. Senja telah berganti bulan dan bintang. Namun mata tak kunjung terpejam. Ada rasa gundah dan gelisah yang menguasai raga.

“Ya Allah, tidurkanlah aku malam ini” Pintaku.

***

Keesokan harinya, jarum jam menunjuk angka sembilan lewat lima belas menit. Rumahku terasa sunyi, sepi. Hanya suara tapak yang sedari tadi kesana-kemari. Sejak tadi pagi, aku terus berdiskusi dengan hatiku. Dan mengikuti alur detak jantungku yang tidak beraturan. Tak lama, semua siap. Aku menatap lekat wajahku di cermin. Seakan masa depan ada di dalamnya. Bismillah, aku dan kedua orang tuaku berangkat. Pergi kerumahmu, Hafsa.

Tak lama kakiku sudah tegak berdiri di depan sebuah rumah. Disambut dengan hangat dan senyum harapan. Mataku segera berlari mencarimu, tapi tak kutemukan. Cakap-cakap bersama orang tuamu tak membuatku tenang. Pikiran kian tak karuan.

3 menit, 5 menit, 10 menit.

Tak ada. Aku terus memandangi benda yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Kian gelisah, tapi tak apa.
Dan,

“Assalamu’alaikum”

Aku mendengar suara dari belakangku, ku putar perlahan leherku. Mataku bertemu dengan sepasang mata lain, dan aku tak berkedip.

“Ini dia pemilik tatapan teduh yang sesungguhnya” Gumamku dalam hati.

“Ayo sini duduk” Ajak Ayahmu.

Aku masih tak berkedip. Terhipnotis oleh pancaran matamu. Jantungku kian bergemuruh riuh.

“Jadi gimana nak?”

Aku terhenyak mendengar suara ayahmu. Fokusku benar-benar hilang. Kata yang ku tata mendadak hilang. Apa yang akan aku katakan? Sedang semua terdiam menanti ucapku.

“Hey!”

Kali ini suara ayahku yang mengangetkan. Kutarik nafas dalam-dalam. Setelah rangkaian kata terucap dari lisan ayahku, kini giliranku. Kuutarakan maksud hati. Kunantikan jawaban pasti. Semua terdiam. Suara denting jam tidak lebih cepat dari detak jantungku.

“Bismillah. Iya, aku mau” Katamu pelan.

Mataku terbelalak, aliran darah terhenti.

“Alhamdulillah” Sorak ramai membuatku tersadar kembali.

Ada kesejukan yang tiba-tiba mengalir. Ada cahaya yang tiba-tiba menerangi. Dan ada keteduhan yang tiba-tiba memayungi. Tanpa basa-basi lagi, hari pernikahanpun di tentukan. Setelah selesai semua pembicaraan. Aku dan keluarga bergegas pulang. Dengan hati riang dan tenang.

***

Tiga bulan kemudian.

Kini dia bukan lagi sosok semu dalam duniaku. Dia adalah sosok nyata dalam mimpiku. Sedikit lagi. Dia seolah selalu mensugesti ku untuk selalu tersenyum, untuk selalu taat. Dia anggun, benar-benar menjaga. Aku kagum, tak lama lagi dia akan menjadi istriku. Alhamdulillah, Allah memberiku waktu untuk mencintaimu. Mencintaimu dengan cara yang sederhana.

Kakiku gemetar. Berkali-kali kutatap wajah ini di cermin, rona gugup terpancar jelas disana. Gemuruh jantungku kian riuh, tanganku semakin dingin kurasa. Rasa ini lebih dari kata aneh.

“Ya Allah berikanlah kemudahan dan kelancaran” Pintaku berkali-kali.

Suara langkah kaki kian membuat hati tak karuan. Ada seseorang yang mendekati kamarku yang kemudian membuka pintu.

“Ayo nak, semua sudah siap” Ibu berdiri di depan pintu. Terlihat anggun dengan kebaya berwarna peach yang ia kenakan.

Kami pergi untuk kedua kalinya kerumahmu. Setelah tiga bulan yang lalu. Sepanjang perjalanan pikiranku tak karuan. Entah perasaan aneh apalagi ini. Berbeda dengan tiga bulan yang lalu. Perjalalanan kali ini terasa sangat lama. Lama sekali.

“Itu dia pengantin laki-lakinya sudah datang” Aku mendengar suara keributan itu. Entah bersumber dari siapa. Langkah kakiku terasa berat. Seperti tak kuasa mengayunkan kaki. Ayah dan ibu mengapit kedua tanganku. Menuntunku menuju altar pernikahan. Bergetar seluruh tubuhku. Berdegup kencang hatiku.

Suasana hening. Bibirku masih saja terkatup. Suara penghulu yang memecah suasana kian membuatku gugup. Kata demi kata terlontar dari lisan penghulu. Dengan cermat kufokuskan pikiran. Dengan khidmat ku amati kata-katanya. Aku menjadi seseorang yang penuh kegembiraan, banyak alasan. Benar-benar terasa mimpi, dan seketika hatiku menyadari bahwa semua ini memang benar-benar nyata.

“Saya terima Nikah dan kawinnya Hafsa Hastari binti Hi. Nursalim dengan mas kawin tersebut di bayar tunai” Suara riuh mendadak memenuhi ruang tamumu.

“S-A-H...” Teriak orang-orang disekitarku. Rasanya ada yang menghantam hatiku. Sehingga satu nama yang berada di dalamnya nyaris terjatuh. Mataku perih, tak terasa air mata merambah jatuh. Bersujud aku, bersyukur kepada Allah.

“Terimakasih Ya Allah atas kelancaran yang KAU berikan”

Aku bangkit dari sujudku. Memandang sekitar dengan senyum terlukis indah di wajahku. Kuusap air mata yang terjatuh. Benar-benar lega. Antara senang. Bahagia. Terkejut. Dan entah. Semua rasa bercampur membaur menjadi satu. Dan aku lupa. Satu peristiwa belum kulewati. Hafsa, istriku. Belum menampakkan wajahnya. Ahhh, hatiku kembali bergetar. Seperti apa rupanya?

Dag.. Dig.. Dug.. Jantungku kembali berdegup lagi. Aku menanti. Tak lama, semua mata memandang ke arah belakangku. Perlahan ku putar leherku. Persis seperti tiga bulan lalu. Namun berbeda. Pancaran cahaya wajahmu mengalahkan sang kejora. Sorot mata meneduhkanmu mengalahkan senja. Aku tak berkedip. Aku merasa heran. Aku hanya terdiam. Hatiku tak karuan. Bahagia luar biasa.

Kami duduk bersampingan. Mengucapkan do’a. Dan tiba saatnya pemasangan cincin. Tanganku terasa dingin. Mencoba meraih tanganmu. Dengan wajah malu kau ulurkan tanganmu, ragu. Tanganmu kaku, canggung. Aku hanya bisa tersenyum, tersipu malu juga. Untuk pertama kalinya aku menyentuh punggung tanganmu. Begitu lembut kurasakan. Tak banyak kata yang terlontar dari kami. Hanya mata yang sesekali curi pandang. Malu-malu.

Hafsa, istriku. Izinkan aku mencintaimu dengan cara sederhana. Sesederhana kata yang diucapkan angin pada daun yang membuatnya jatuh. Dan sesederhana isyarat senja kepada malam yang menggantikannya dengan sang kejora.

Masih, selalu, dan akan terus kusimpan namamu di ruangan terdalam hatiku. Sampai nanti, sampai kapanpun. Aku menyeruput secangkir kopi di teras atas rumah kami. Dan seseorang memelukku dari belakang, aku menatapnya. Mengecup keningnya. Lagi-lagi aku terhipnotis oleh sorot mata teduhmu yang selalu bisa menenangkan hatiku. Terimakasih.

Malang, 07 September 2018

Tidak ada komentar: